BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Persalinan dan kelahiran merupakan
kejadian fisiologis. Seringkali persalinan menyebabkan perlukaan jalan lahir
sehingga harus dirawat dengan baik dan benar (Prawirohardjo, 2002). Perlukaan
jalan lahir dapat mengakibatkan infeksi pada daerah antara lubang vagina dan
anus, bagian luar alat kelamin, vagina serta mulut rahim dan biasanya akan
timbul gejala seperti: rasa nyeri serta panas pada tempat terinfeksi,
kadang-kadang rasa perih muncul bila buang air kecil karena sudah merambat pada
saluran kandung kencing dan sering juga disertai demam (Purwadi Rahardjo,
2006). Menurut WHO, pada tahun 2005 tercatat lebih dari 585.000 terjadi
kematian ibu saat hamil atau bersalin. Sebanyak 11% kematian ibu disebabkan karena infeksi dimana
25-55 % dari kasus infeksi ini disebabkan karena infeksi perlukaan pada jalan
lahir (Rustam Mochtar, 2000).
Infeksi perlukaan jalan lahir ini bisa
terjadi karena ibu tidak memperhatikan personal hygiene yang baik, belum
mengerti cara perawatan luka perineum yang benar, belum mengerti manfaat dan
tujuan dari perawatan luka perineum, serta kurang telaten dalam melakukan
perawatan pasca persalinan (Prawirohardjo, 2002). Kasus infeksi ini disebabkan
juga karena infeksi yang terlokalisir di jalan lahir dan penyebab terbanyak dan
lebih dari 50% adalah kuman Streptococcus
anaerob yang sebenarnya tidak patogen dan merupakan penghuni jalan lahir
namun karena adanya luka memungkinkan kuman ini untuk menyebabkan infeksi
(Rustam Mochtar, 2000).
Perawatan luka perineum merupakan salah
satu cara untuk mencegah terjadinya infeksi perlukaan jalan lahir. Perawatan
perineum terdiri dari 3 teknik, yaitu teknik dengan memakai antiseptik, tanpa
antiseptik dan cara tradisional. Namun perawatan luka perineum yang dilakukan
oleh masyarakat masih banyak yang menggunakan cara tradisional, salah satunya
menggunakan air rebusan daun sirih tersebut untuk cebok supaya luka perineum
cepat sembuh dan bau darah yang keluar tidak amis. Daun sirih mengandung minyak
atsiri yang terdiri dari bethephenol, chavicol, seskulterpen, hidriksivaikal,
cavibetol, estrogen, eugenol, dan karvarool dimana zat biokomia dalam daun
sirih (Piperbetle linn.) memiliki daya membunuh kuman dan jamur, juga
merupakan antioksidan yang mampercepat proses penyembuhan luka. Pengobatan
menggunakan daun sirih merupaan pengobatan tradisional dengan menggunakan
ramuan tumbuh-tumbuhan tertentu dan masih alami sehingga tidak ada efek samping
yang ditimbulkan seperti yang sering terjadi pada pengobatan kimiawi (Agromedia,
2007).
Pengobatan antibiotik untuk perawatan luka
perineum saat ini cenderung dihindari. Hal ini dapat diartikan, selama ibu
tidak memiliki resiko infeksi, maka bidan tidak memberikan antibiotik untuk
menyembuhkan luka perineum. Bahkan menurut buku Farmakologi dan Terapi (2007), beberapa antibiotik harus dihindari
selama masa laktasi, karena jumlahnya sangat signifikan dan beresiko. Hal
inilah yang menjadi alasan bidan yang menyarankan ibu nifas untuk menggunakan
daun sirih sebagai obat yang mempercepat penyembuhan luka perineum.
Hasil studi pendahuluan secara interview pada bidan di Desa Sumbermulyo, Kecamatan
Jogoroto, pada bulan Februari 2010, menyebutkan bahwa dari 9 ibu nifas, 7 orang
menggunakan daun sirih (77, 78%), dan 2 orang tidak menggunakan daun sirih
(22,22%). Dari 9 orang tersebut, 4 orang menerima tindakan
episiotomi (45%) dan 5 orang mengalami robekan spontan (55%). 6 ibu nifas (67%)
sembuh dalam 7 hari, dan sisanya lebih dari 7 hari. Penulis juga melakukan survey
di Desa Ngrimbi dan Desa Banjaragung, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, yang
hasilnya mengungkapkan bahwa 90% ibu nifas juga menggunakan daun sirih sebagai
obat untuk mengatasi gatal pada daerah kewanitaan dan mempercepat penyembuhan
luka perineum.
Mengingat
rendahnya pengetahuan kandungan senyawa berbagai tanaman obat terkadang membuat
pengobatan tradisional terasa m meragukan. Memang, hingga saat ini belum semua
tanaman penghasil obat sudah diteliti secara farmakologis khasiat dan
kandungannya. Pada akhirnya, resep-resep tradisional tersebut juga harus dapat
dipertanggungjawabkan secara medis dan ilmiah. Begitu pula dengan daun sirih,
yang meskipun populer namun belum pernah ada penelitian yang menganalisis
pengaruhnya pada penyembuhan luka perineum.
Berdasarkan
fenomena-fenomena di atas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan
eksperimen tentang ”Pengaruh Penggunaan Daun Sirih Terhadap Percepatan Luka
Perineum Ibu Nifas di Desa Sumbermulyo, Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang, Tahun 2010”. Penelitian ini menggali informasi tentang pengaruh daun
sirih terhadap penyembuhan luka perineum dan memformulasikannya, agar
dapat dimanfaatkan dalam kebijakan yang mendukung upaya peningkatan mutu
pengobatan tradisional sekaligus menurunkan angka kematian dan kesakitan ibu
karena infeksi nifas.
1.2
Rumusan
Masalah
1.2.1
Rumusan
Masalah
Apakah
ada pengaruh penggunaan daun sirih terhadap penyembuhan luka perineum pada ibu
nifas di Desa Sumbermulyo, Kecamatan Jogoroto, Jombang, 2010?
1.3
Tujuan
Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh daun sirih
terhadap penyembuhan luka perineum di Desa Sumbermulyo, Kecamatan Jogoroto,
Kabupaten Jombang tahun 2010.
1.3.2
Tujuan
Khusus
1.3.2.1
Mengidentifikasi penggunaan daun sirih di Desa
Sumbermulyo, Kecamatan Jogoroto, Jombang, 2010.
1.3.2.2
Mengidentifikasi penyembuhan luka perineum di Desa
Sumbermulyo, Kecamatan Jogoroto, Jombang, 2010.
1.3.2.3
Menganalisis pengaruh penggunaan daun sirih terhadap
penyembuhan luka perineum
1.4
Manfaat
Penelitian
1.4.1
Bagi Peneliti
Menambah
pengetahuan penulis tentang pengaruh daun sirih terhadap penyembuhan luka
perineum.
1.4.2
Bagi Lahan
Penelitian
Sebagai masukan bagi tenaga
kesehatan untuk menggunakan daun sirih sebagai penyembuh luka perineum dalam
pengembangan pengobatan tradisional
1.4.3
Bagi
Institusi
Sebagai masukan dan sumber
informasi bagi mahasiswa lain tentang pemakaian daun sirih untuk penyembuhan
luka perineum.
1.5
Sistematika
Penelitian
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat Penelitian
1.5 Sistematika Penulisan
BAB II KAJIAN
TEORI
2.1 Konsep Daun Sirih
2.2 Konsep Luka Perineum
2.3 Konsep Penyembuhan Luka
2.4 Prinsip Perawatan Luka Perineum
2.5 Manfaat Daun Sirih terhadap Penyembuhan
Luka Perineum
2.6 Kerangka Konsep
2.7 Hipotesis
BAB III METODE
PENELITIAN
3.1 Rancangan penelitian
3.2 Lokasi dan waktu penelitian
3.3 Populasi, sampling, dan sample
3.4 Kriteria penelitian
3.5 Identifikasi variabel
3.6 Definisi Operasional
3.7 Instrumen, Alat dan Bahan Penelitian
3.8 Prosedur Pelaksanaan Penelitian
3.9 Pengumpulan data
3.10
Pengolahan
Data
3.11
Analisis
data
3.12
Etika
penelitian
3.13
Keterbatasan
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian,
Pembahasan mengenai KTI
BAB V PENUTUP
Kesimpulan dan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Konsep Daun Sirih
2.1.1
Pengertian Herbalisme
Herbalisme dapat didefinisikan sebagai
penggunaan berbagai produk yang terbuat dari bahan dasar tanaman yang belum
diolah untuk mengatasi, mencegah, atau mengobati penyakit. Mereka yang
menggunakannya mengkarakteristikan terapi herbal sebagai metode yang
berorientasi pada kesehatan, bukan penyakit, dan mereka cenderung mempertimbangkan
herbal lebih selaras dengan irama alami tubuh. Tanaman cenderung digunakan
secara keseluruhan bukan mengisolasi unsur-unsur aktifnya guna mengurangi efek
samping dan potensinya serta memungkinkan berbagai kandungan dalam tanaman
tertentu bekerja secara sinergis. Ahli herbal (herbalis) mengesampingkan
hal-hal yang mengangkut standarisasi, mengingat bahwa setiap individu bahkan
memberi respons yang berbeda-beda terhadap obat-obatan yang terstandarisasi
seperti insulin dan digoxin (Coctance Sinclair, 2009).
2.1.2
Perbandingan Antara Penggunaan Obat Herbal
dan Obat Sintesis
Tabel 2.1 Perbedaan Antara Penggunaan Obat Herbal
Dan Obat Sintesis
Obat Herbal
|
Obat sintesis
|
Sistem kerjanya
lokal
|
Sistem kerjanya
sistemik
|
Efek samping
sedikit bahkan tidak ada
|
Dapat menimbulkan
efek samping, misalnya : eritema, hipersensitivitas, dan nausea, emesis, dll.
|
Efek dalam tubuh
lambat
|
Efek dalam tubuh
cepat
|
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI , 2007)
2.1.3
Pengertian Daun Sirih
Gambar 2.1. Daun Sirih Piperbetle
linn
Nama
latin : Piperbetie Linn
Divisi : Spermatophyta
Anak
Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Anak kelas : Monochlamydae
Bangsa :
Piperales
Suku :
Piperaceae
Nama
simplesia : Piperis Folium
Nama daerah :
Sirih; Suruh (Jawa), seureuh (Sunda); base (Bali);
leko, kowak, malo, malu (Nusa Tenggara); dontile, parigi, gamnjeng (Sulawesi);
gies, bido (Maluku); sirih, ranub, sereh, sirieh (Melayu) (Moeljanto, 2003).
Deskripsi tanaman :
Perdu, merambat, batang
berkayu, berbuku-buku, bersalur, berwarna hijau keabu-abuan. Daun tunggal,
bulat panjang, berwarna kuning kehijauan sampai hijau tua, yang sudah bisa
dipetik biasanya sudah selebar 10 cm, panjang 15 cm. Buah buni, bulat, berwarna
hijau keabu-abuan. Pertumbuhannya tergantung pada kesuburan media tanam dan
rendahnya media untuk merambat. Batang berwarna coklat kehijauan, berbentuk
bulat, berkerut, dan beruas yang merupakan tempat keluarnya akar. Daun
berbentuk jantung, berujung runcing, tumbuh berselang-seling, bertangkai,
teksturnya agak kasar jika diraba, dan mengeluarkan bau yang sedap (aromatis)
jika diremas (Moeljanto, 2003).
Bagian tanaman yang digunakan : Daun
Kandungan Kimia :
- Minyak Atsiri 1-4,2%
- Hidroksikavicol 7,2-16,7%
- Cavicol 7,2 – 16,7%
- Cavibetol 2,7 – 6,2%
- Allylpykatekol 0 – 9,6%
- Carvakol 2,2 - 5,6%
- Eugenol 26,8 – 42,5%
- Eugenolmethyl ether 4,2 – 15,8%
- P-cymene 1,2 – 2,5%
- Cyneole 2,4 – 4,8%
- Alkohol
- Caryophyllene 3 – 9,8%
- Cadinene 2,4 – 15,8%
- Caryophyllene
- Estragol
- Terpennena
- Eskuiterpena
- Fenil propana
- Tanin
- Diastese 0,8 – 1,8%
- Gula
- Pati
(Arief Hariana, 2009)
Efek Farmakologis :
Dalam farmakologi Cina
disebutkan bahwa tanaman ini memiliki sifat rasa hangat dan pedas dan digunakan
sebagai peluruh kentut, menghentikan batuk, mengurangi peradangan,
menghilangkan gatal (Arief Hariana, 2009).
Efek zat aktif :
1. Acreoline (seluruh tanaman); merangsang syaraf pusat, merangsang
daya pikir, meningkatkan gerakan peristaltik, merangsang kejang, meredakan
sifat mendengkur.
2. Eugenol (daun) mencegah ejakulasi prematur,mematikan jamur Candida albicans,
anti kejang, analgesik, anestetik, pereda kejang pada otot polos, penekan
pengendali gerak.
3. Tanin (daun); astringent (mengurangi sekresi pada liang vagina), penekan
kekabalan tubuh, pelindung hepar, anti diare, anti mutagenik.
4. Fenol, sebagai
zat antioksidan, yaitu bisa membantu menjaga atau mempertahankan kesehatan sel
tubuh. Kandungan fenol dalam sifat antiseptik daun sirih lima kali lebih
efektif dibandingkan dengan fenol biasa.
5. Chavicol, sebagai
antiseptik.
(Arief Hariana, 2009)
2.2
Konsep Luka
Perineum
2.2.1
Definisi
Luka Perineum
Luka adalah belah (pecah, cidera, lecet) pada
kulit karena kena barang yang tajam (Depdikbud, 1999).
Perineum adalah daerah yang terletak antara vulva
dan anus, panjangnya rata-rata 4 cm. Di dalamnya terdiri atas musculus
sircularis dan bagian luarnya atas musculus longitudinalis. Di sebelah luar
otot-otot ini tedapat fasia (jaringan ikat) yang akan berkurang elastisitasnya
pada wanita lanjut usia (Prawirohardjo, 2006).
Luka/robekan perineum
adalah luka pada daerah perineum yang disebabkan oleh tindakan episiotomi.
Dapat juga terjadi secara alami karena pada saat proses persalinan, kurang
adanya perlindungan terhadap perineum, sehingga kepala bayi dan tekanan meneran
ibu dapat merobek jaringan perineum dan sekitarnya (Prawirohardjo, 2006).
2.2.2
Etiologi
Luka Perineum
Robekan pada perineum
umumnya terjadi pada persalinan, dimana :
1.
Kepala janin terlalu cepat lahir
2.
Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3. Sebelumnya pada perineum terdapat banyak
jaringan parut
4. Pada persalinan dengan distosia bahu
(Prawirohardjo, 2005)
Luka perineum dapat terjadi secara :
1. Spontan
Yaitu luka pada perineum yang terjadi
karena sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan tindakan perobekan atau disengaja. Luka
ini terjadi pada saat persalinan dan biasanya tidak teratur.
2. Insisi
Yaitu luka perineum yang terjadi karena dilakukan
pengguntingan atau perobekan pada perineum.
a. Episiotomi adalah insisi genitalia
eksterna
b. Perineotomi adalah insisi perineum
(Budi, 2008)
2.2.3
Derajat Luka Perineum
Robekan Perineum dibagi menjadi 2,
berdasarkan tempatnya, yaitu :
1.
Anterior,
meliputi : labia, vagina anterior, uretra atau klitoris.
2.
Posterior, meliputi : dinding posterior vagina,
otot-otot perineum, spinkter ani, dan mukosa rectum (Budi, 2008).
Robekan perineum dibagi atas 4 derajat, yaitu :
1.
Tingkat
1 : Robekan hanya terjadi pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenai
kulit perineum.
2.
Tingkat
2 : Robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perinei transversalis, tapi
tidak mengenai otot sfingter ani.
3.
Tingkat
3 : Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani.
4.
Tingkat
4 : Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani dan mukosa rektum
Robekan sekitar klitoris dan uretra dapat
menimbulkan perdarahan hebat dan mungkin sangat sulit untuk diperbaiki.
Penolong harus melakukan penjahitan reparasi dan hemostasis (Prawirohardjo,
2006).
Klasifikasi robekan perineum menurut Sultan, dkk
(2007) :
Stadium 1 : Laserasi epitel vagina atau laserasi pada
kulita vagina saja.
Stadium 2 : Melibatkan kerusakan pada otot perineum,
tetapi tidak melibatkan otot-otot sfinkter ani
Stadium 3 : Kerusakan pada otot sfinkter ani
3a : Robekan < 50% sfinkter ani eksterna
3b : Robekan > 50% sfinkter ani eksterna
3c : Robekan juga meliputi sfinkter ani interna
Stadium 4 : Robekan stadium 3 disertai robekan anus
(Budi, 2008)
Gambar 2.2 Jenis Episiotomi
2.2.4
Diagnosis
1. Peri Rule, adalah alat standar untuk
menilai robekan perineum stadium 2 secara obyektif
2. Pemeriksaan Vagina
3. Pemeriksaan Rektum (DRE)
a. Robekan sfinkter ani akibat
persalinan/OASIS (Obstetric Anal Sphinkter Injuries) : mulai dari stadium I-IV
b. Occult OASIS : tersembunyi, tidak
teridentifikasi, salah klasifikasi, kurang perhatian.
4. Ultrasonografi (USG) Endoanal
(Budi, 2008)
2.2.5
Penanganan Luka Perineum
Pada dasarnya, penanganan luka perineum dibagi
menjadi 2, yaitu;
1. Tidak dijahit
2. Dijahit
2.2.5.1
Prinsip
dasar penjahitan
1. Robekan sembuh dalam 2 minggu
2. Jahit segera setelah persalinan
3. Jahit kuat tapi jangan terlalu kencang
4. Tutup ruang rugi dengan hemostasis baik
5. Kateter 24 jam
6. Periksa dan hitung alat
(Budi, 2008)
2.2.5.2
Bahan
Benang
1. Catgut, Asam poliglikolat (Dexon)
2. Poliglaktin 910 Standar (Vicryl)
3. Poliglaktin 910 Baru (Vicryl Rapide)
(Budi, 2008)
2.2.5.3
Penjahitan
Robekan Perineum Berdasarkan Stadium
1. Stadium I
Luka perineum derajat I bisa dibiarkan,
atau dijahit. Jahit apabila : perdarahan berlebih, kontinuitas jaringan
diragukan, danlaserasi bilateral.
2. Stadium II
Tabel 2.2 Penanganan Robekan Perineum Stadium 2 (Budi,
2008)
Penjahitan
|
Teknik
Konvensional
|
Teknik Jahitan
Kontinu
|
Vagina
|
Kontinu, locking
|
Kontinu
nonlocking
|
Otot Perineum
|
Interuptus/jelujur
kontinu
|
Kontinu
nonlocking
|
Kulit
|
Interuptus
transkutan/kontinu subkutan
|
Jahitan
subkutikular
|
3. Stadium III dan IV
Prinsip :
a. Aproksimasi ujung ke ujung (end to end
aproximation) baik dengan jahitan interuptus (interupted), maupun jahitan
angka delapan (figure of eight).
b. Apabila dengan inkontinensia alvi, tenik
jahitan adalah teknik overlap, saat menjahit sfinkter.
(Budi, 2008)
2.2.5.4
Intervensi
untuk Mengurangi Resiko Robekan Perineum
1.
Pembedahan
Caesar elektif
2.
Pemijatan
perineum antenatal
3.
Latihan
fisik selama kehamilan
4.
Persalinan di air (Water Labour)
5.
Persalinan spontan dibantu forceps
6.
Vacum vs Forseps
(Budi, 2008)
Pada
dasarnya, perlukaan jalan lahir atau luka perineum akan sembuh dalam 6-7 hari
apabila tidak ada infeksi.
1. Tanda-tanda jahitan jadi :
a. Luka tidak basah
b. Tidak nyeri
c. Tidak kemerahan
d. Tidak mengeluarkan pus (nanah)
2. Tanda-tanda infeksi :
a.
Rubor
(kemerahan)
Sebuah sayatan yang mendapat merah, atau memiliki garis-garis merah
memancar dari ke kulit di sekitarnya mungkin terinfeksi. Kemerahan beberapa
normal di tempat sayatan, tetapi harus menurun seiring waktu, bukan menjadi
lebih merah sebagai menyembuhkan sayatan.
b. Kalor (panas)
Sebuah sayatan yang terinfeksi mungkin merasa panas
untuk disentuh. Hal ini terjadi
sebagai tubuh melawan infeksi mengirimkan sel-sel darah ke lokasi infeksi.
c. Dolor (Nyeri)
Nyeri Anda harus perlahan dan
terus berkurang sementara Anda sembuh. Jika tingkat nyeri Anda di situs
meningkatkan operasi tanpa alasan yang jelas, Anda mungkin akan mengembangkan infeksi pada luka. Adalah normal untuk
nyeri meningkat jika Anda "berlebihan" dengan kegiatan atau Anda
menurunkan obat sakit Anda, tetapi peningkatan signifikan dan diterangkan dalam
sakit harus dibicarakan dengan dokter bedah Anda.
d. Tumor (pembengkakan)
Sebuah sayatan terinfeksi
mungkin mulai mengeras sebagai jaringan bawah meradang. Sayatan sendiri mungkin mulai muncul bengkak atau bengkak
juga.
e. Fungsiolaesa (Perubahan fungsi)
(Heisler, 2009)
2.3 Konsep Penyembuhan
Luka
Penyembuhan adalah proses, cara, perbuatan
menyembuhkan, pemulihan (Depdikbud, 1999).
Luka adalah belah (pecah, cidera, lecet) pada
kulit karena kena barang yang tajam (Depdikbud, 1999).
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang
kompleks karena berbagai kegiatan bio-seluler, bio-kimia terjadi
berkisanambungan. Penggabungan respons vaskuler, aktivitas seluler dan
terbentuknya bahan kimia sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan
komponen yang saling terkait pada proses penyembuhan luka. Besarnya perbedaan mengenai
penelitian dasar mekanisme penyembuhan luka dan aplikasi klinik saat ini telah
dapat diperkecil dengan pemahaman dan penelitian yang berhubungan dengan proses
penyembuhan luka dan pemakaian bahan pengobatan yang telah berhasil memberikan
kesembuhan (Baxter, 1990).
2.3.1
Klasifikasi Luka
Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan,
dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang. Berdasarkan
kedalaman dan luasnya, luka dapat dibagi menjadi :
1. Luka superfisial; terbatas pada lapisan
dermis.
2. Luka “partial thickness”; hilangnya
jaringan kulit pada lapisan epidermis dan lapisan bagian atas dermis.
3. Luka “full thickness”; jaringan
kulit yang hilang pada lapisan epidermis, dermis, dan fasia, tidak mengenai
otot.
4. Luka mengenai otot, tendon dan tulang.
Terminologi luka yang dihubungkan dengan waktu penyembuhan dapat dibagi menjadi:
1.
Luka akut
Luka dengan masa
penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati.
2.
Luka kronis
Luka yang mengalami kegagalan dalam
proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen atau endogen.
Setiap kejadian luka, mekanisme tubuh akan mengupayakan
mengembalikan komponen-komponen jaringan yang rusak tersebut dengan membentuk
struktur baru dan fungsional sama dengan keadaan sebelumnya. Proses penyembuhan
tidak hanya terbatas pada proses regenerasi yang bersifat lokal, tetapi juga
sangat dipengaruhi oleh faktor endogen (seperti: umur, nutrisi, imunologi,
pemakaian obat-obatan, kondisi metabolik).
2.3.2
Fase-Fase Penyembuhan Luka
Fase-fase penyembuhan luka menurut
Smeltzer (2002 : 490) adalah sebagai berikut:
2.3.2.1
Fase Inflamasi, berlangsung selama 1 sampai 4 hari.
Merupakan fase Eksudasi; menghentikan perdahan dan mempersiapkan tempat luka menjadi
bersih dari benda asing atau kuman sebelum dimulai proses penyembuhan. Dapat
diaprtikan juga sebagai respons vaskular dan selular terjadi ketika jaringan
teropong atau mengalami cedera. Vasokonstriksi pembuluh terjadi dan
bekuan fibrinoplatelet terbentuk dalam upaya untuk mengontrol
pendarahan. Reaksi ini berlangsung dari 5 menit sampai 10 menit, dan setelah
itu akan terjadi vasodilatasi kapiler stimulasi saraf sensoris (local sensoris
nerve ending), local reflex action, dan adanya substansi vasodilator: histamin,
serotonin dan sitokins. Histamin kecuali menyebabkan vasodilatasi juga
mengakibatkan meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah
keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi
edema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis. Keadaan ini
dapat dipakai sebagai pedoman/parameter bahwa fase inflamasi ditandai dengan
adanya: eritema, hangat pada kulit, edema dan rasa sakit yang berlangsung
sampai hari ke-3 atau hari ke-4.
Eksudasi juga mengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra
vaskuler. Fungsi netrofil adalah melakukan fagositosis benda asing dan bakteri
di daerah luka selama 3 hari dan kemudian akan digantikan oleh sel makrofag
yang berperan lebih besar jika dibanding dengan netrofil pada proses
penyembuhan luka. Fungsi makrofag disamping fagositosis adalah:
1.
Sintesa kolagen
2. Pembentukan jaringan granulasi
bersama-sama dengan fibroblas
3.
Memproduksi growth factor yang berperan pada
re-epitelisasi
4.
Pembentukan pembuluh kapiler baru atau angiogenesis
Dengan berhasilnya dicapai luka yang
bersih, tidak terdapat infeksi atau kuman serta terbentuknya makrofag dan fibroblas,
2.3.2.2 Fase
Proliferatif, berlangsung 5 sampai 20 hari.
Pembentukan jaringan granulasi untuk menutup defek
atau cedera pada jaringan yang luka.
Fibroblas memperbanyak diri dan membentuk
jaring-jaring untuk sel-sel yang bermigrasi. Sel-sel epitel membentuk kuncup
pada pinggiran luka; kuncup ini berkembang menjadi kapiler, yang merupakan
sumber nutrisi bagi jaringan granulasi yang baru (Smeltzer, 2002).
Setelah 2 minggu, luka hanya memiliki 3 % sampai 5% dari kekuatan aslinya. Sampai
akhir bulan, hanya 35% sampai 59% kekuatan luka tercapai. Tidak akan lebih dari
70% sampai 80% kekuatan dicapai kembali. Banyak vitamin, terutama vitamin C,
membantu dalam proses metabolisme yang terlibat dalam penyembuhan luka.
Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan
menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas sangat
besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan
menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses
rekonstruksi jaringan.
Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas
sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah
terjaid luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam
daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa
substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan profeoglycans)
yang berperan dalam membangun (rekonstruksi) jaringan baru.
Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membnetuk cikal bakal jaringan baru (connective
tissue matrix) dan dengan dikeluarkannnya subtrat oleh fibroblast,
memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai
satu kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka.
Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru tersebut
disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi fibroblas
dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasia. Respons yang dilakukan
fibroblas terhadap proses fibroplasia adalah:
1.
Proliferasi
2.
Migrasi
3.
Deposit jaringan matriks
4.
Kontraksi luka
Angiogenesis suatu proses pembentukan pembuluh kapiler baru didalam luka, mempunyai
arti penting pada tahap proleferaswi proses penyembuhan luka. Kegagalan
vaskuler akibat penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat (preparat
steroid) mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus
yang kronis. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu
respons untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena
biasanya pada daerah luka
terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada fase ini
fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh
substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (growth factors).
Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana
fibroblas mengeluarkan “keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan
dalam stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir
luka dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan
sintesa kolagen oleh fibroblas, pembentukan lapisan dermis ini akan
disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan
dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup luka, fibroblas akan
merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan
kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan
defek luas dibandingkan dengan defek luka minimal.
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis
dan lapisan kolagen telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan
dipercepat oleh berbagai growth factor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet(Baxter, 1990).
2.3.2.3 Fase Maturasi,
berlangsung 21 hari sampai sebulan atau bahkan tahunan.
Sekitar 3 minggu setelah cedera, fibroblast
mulai meninggalkan luka. Jaringan parut tampak besar, sampai fibril kolagen
menyusun kedalam posisi yang lebih padat. Hal ini, sejalan dengan dehidrasi,
mengurangi jaringan parut tetapi meningkatkan kekuatannya. Maturasi jaringan
seperti ini terus berlanjut dan mencapai kekuatan maksimum dalam 10 atau 12
minggu, tetapi tidak pernah mencapai kekuatan asalnya dari jaringan sebelum
luka (Smeltzer, 2002).
Fase ini
dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12
bulan. . Tujuan dari fase maturasi adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan
baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai
meninggalkan jaringan garunalasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang
karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak
untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari ajringan parut akan mencapai
puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah
dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase maturasi. Kecuali
pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase.
Kolagen muda (gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi
akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat dan struktur
yang lebih baik (Baxter, 1990).
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan
keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen
yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar,
sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan
luka akan selalu terbuka (Baxter, 1990).
Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas
lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit mampu atau tidak mengganggu untuk
melakukan aktivitas yang normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi
setiap penderita, namun outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung dari
kondisi biologik masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita
muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan kurang gizi,
disertai dengan penyakit sistemik (diabetes melitus) (Baxter, 1990).
Sedikit berbeda dengan Penelitian pada luka akut
dengan model binatang menunjukkan ada empat fase penyembuhan luka. Sehingga
diyakini bahwa luka kronik harus juga melalui fase yang sama. Fase-fase
tersebut sama dengan pendapat-pendapat para ahli di atas, namun diawali oleh
proses hemostasis, penjelasannya adalah sebagai berikut :
Pada penyembuhan luka kerusakan pembuluh darah
harus ditutup. Pada proses penyembuhan luka platelet akan bekerja untuk menutup
kerusakan pembuluh darah tersebut. Pembuluh darah sendiri akan konstriksi dalam
berespon terhadap injuri tetapi spasme ini biasanya rilek. Platelet mensekresi
substansi vasokonstriktif untuk membantu proses tersebut (Go ET_WOC Nurse
Indonesia, 2009).
Dibawah pengaruh adenosin diphosphat (ADP)
kebocoran dari kerusakan jaringan akan menimbulkan agregasi platelet untuk
merekatkan kolagen. ADP juga mensekresi faktor yang berinteraksi dengan dan
merangsang pembekuan intrinsik melalui produksi trombin, yang akan membentuk
fibrin dari fibrinogen. Hubungan fibrin diperkuat oleh agregasi platelet
menjadi hemostatik yang stabil. Akhirnya platelet juga mensekresi sitokin
seperti ”platelet-derived growth factor”. Hemostatis terjadi dalam waktu
beberapa menit setelah injuri kecuali ada gangguan faktor pembekuan (Go ET_WOC
Nurse Indonesia, 2009).
Tabel 2.3 Fase
penyembuhan luka
Fase Penyembuhan
|
Waktu
|
Sel-sel yang berperan
|
Analogi membangun rumah
|
Hemostasis Inflamation
|
Segera
|
Platelets Neutrophils
|
Cooping off conduct
|
Proliferation Granulosa
|
Hari 1-4
|
Macrophages
Lymphocytes
Angocytes
Neurocytes
|
Supervisor Cell
Specific labores at the
Plumber
Electrician
|
Contracture
|
Hari 4-21
|
Fibroblas
Keratinocytes
|
Framers
Roofers and siders
|
Remodelling
|
Hari 21-2 tahun
|
Fibrocytes
|
Remodelers
|
2.3.3
Bentuk – Bentuk Penyembuhan Luka
Dalam penatalaksanaan bedah penyembuhan luka, luka digambarkan sebagai
penyembuhan melalui intensi pertama, kedua, atau ketiga.
Penyembuhan melalui Intensi Pertama (Penyatuan Primer). Luka
dibuat secara aseptik, dengan pengrusakan jaringan minimum, dan penutupan
dengan baik, seperti dengan suture, sembuh dengan sedikit reaksi jaringan
melalui intensi pertama. Ketika luka sembuh melalui instensi pertama, jaringan
granulasi tidak tampak dan pembentukan jaringan parut minimal.
Fase-fase dalam penyembuhan Intension primer :
1. Fase Inisial (3-5 hari)
2. Sudut insisi merapat, migrasi sel-sel
epitel, mulai pertumbuhan sel
3. Fase granulasi (5 hari – 4 minggu)
Fibroblas bermigrasi ke dalam bagian luka dan mensekresi kolagen. Selama
fase granulasi luka berwarna merah muda dan mengandung pembuluh darah. Tampak
granula-granula merah. Luka berisiko dehiscence dan resisten terhadap infeksi.
Epitelium permukaan pada tepi luka mulai terlihat. Dalam beberapa hari
lapisan epitelium yang tipis bermigrasi menyebrangi permukaan luka. Epitel
menebal dan mulai matur dan luka merapat. Pada luka superficial, reepitelisasi terjadi selama 3 – 5 hari.
4. Fase kontraktur scar ( 7 hari – beberapa bulan )
Serabut-serabut kolagen terbentuk dan terjadi proses remodeling. Pergerakan
miofibroblast yang aktif menyebabkan kontraksi area penyembuhan, membentu
menutup defek dan membawa ujung kulit tertutup bersama-sama. Skar yang matur selanjutnya terbentuk. Skar yang matur tidak mengandung
pembuluh darah dan pucat dan lebih terasa nyeri daripada fase granulasi
Gambar 2.3 Jenis Penyembuhan Luka
2.3.4
Faktor-Faktor Internal yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
2.3.4.1
Usia
Penyembuhan luka lebih cepat terjadi pada usia muda dari pada orang tua. Orang yang sudah lanjut usianya tidak
dapat mentolerir stress seperti trauma jaringan atau infeksi.
2.3.4.2
Penanganan jaringan
Penanganan yang kasar
menyebabkan cedera dan memperlambat penyembuhan.
2.3.4.3
Hemoragi
Akumulasi darah
menciptakan ruang rugi juga sel-sel mati yang harus disingkirkan. Area menjadi
pertumbuhan untuk infeksi.
2.3.4.4
Hipovolemia
Volume darah yang tidak
mencukupi mengarah pada vasokonstriksi dan penurunan oksigen dan nutrient yang
tersedia utuk penyembuhan luka.
2.3.4.5
Faktor lokal edema
Penurunan suplai oksigen
melalui gerakan meningkatkan tekanan interstisial pada pembuluh.
2.3.4.6
Defisit nutrisi
Sekresi insulin dapat dihambat, sehingga menyebabkan
glukosa darah meningkat. Dapat terjadi penipisan protein-kalori.
2.3.4.7
Personal hygiene
Personal hygiene
(kebersihan diri) dapat memperlambat penyembuhan, hal ini dapat menyebabkan
adanya benda asing seperti debu dan kuman.
2.3.4.8
Defisit oksigen
1. Insufisien oksigenasi jaringan :
Oksigen yang tidak memadai dapat diakibatkan tidak adekuatnya fungsi paru dan
kardiovaskular juga vasokonstriksi setempat.
2. Penumpukan
drainase : Sekresi yang menumpuk menggangu proses penyembuhan.
2.3.4.9
Medikasi
1. Steroid : Dapat menyamarkan
adanya infeksi dengan menggangu respon inflamasi normal.
2.
Antikoagulan :Dapat menyebabkan hemoragi.
3. Antibiotik
spektrum luas / spesifik : Efektif bila diberikan segera sebelum
pembedahan untuk patolagi spesifik atau kontaminasi bakteri. Jika diberikan setelah luka ditutup, tidak efektif
karena koagulasi intrvaskular.
2.3.4.10 Overaktivitas
Menghambat perapatan tepi luka. Mengganggu penyembuhan yang
diinginkan (Smelzer, 2002).
2.3.5
Faktor-Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
2.3.5.1
Lingkungan
Dukungan dari lingkungan
keluarga, dimana ibu akan selalu merasa mendapatkan perlindungan dan dukungan
serta nasihat – nasihat khususnya orang tua dalam merawat kebersihan pasca
persalinan.
2.3.5.2
Tradisi
Di Indonesia ramuan peninggalan nenek moyang untuk perawatan pasca
persalinan masih banyak digunakan, meskipun oleh kalangan masyarakat modern.
Misalnya untuk perawatan kebersihan genital, masyarakat tradisional menggunakan
daun sirih yang direbus dengan air kemudian dipakai untuk cebok.
2.3.5.3
Pengetahuan
Pengetahuan ibu tentang perawatan pasca persalinan sangat menentukan lama
penyembuhan luka perineum. Apabila pengetahuan ibu kurang telebih masalah kebersihan maka penyembuhan lukapun akan berlangsung lama.
2.3.5.4
Sosial Ekonomi
Pengaruh dari kondisi sosial ekonomi ibu dengan lama penyebuhan
perineum adalah keadaan fisik
dan mental ibu dalam melakukan aktifitas sehari-hari pasca persalinan. Jika ibu
memiliki tingkat sosial ekonomi yang rendah, bisa jadi penyembuhan luka
perineum berlangsung lama karena timbulnya rasa malas dalam merawat diri.
2.3.5.5
Penanganan
petugas
Pada saat persalinan, pembersihannya
harus dilakukan dengan tepat oleh penanganan petugas kesehatan, hal ini merupakan salah satu penyebab yang
dapat menentukan lama penyembuhan luka perineum.
2.3.5.6 Kondisi ibu
Kondisi kesehatan ibu baik secara fisik maupun mental, dapat menyebabkan
lama penyembuhan. Jika
kondisi ibu sehat, maka ibu dapat merawat diri dengan baik.
2.3.5.7 Gizi
Makanan yang bergizi dan
sesuai porsi akan menyebabkan ibu dalam keadaan sehat dan segar. Dan akan mempercepat masa penyembuhan luka perineum.
(Smeltzer, 2002)
2.4 Prinsip Perawatan Luka Perineum
Lingkup perawatan perineum ditujukan untuk
pencegahan infeksi organ-organ reproduksi yang disebabkan oleh masuknya
mikroorganisme yang masuk melalui vulva yang terbuka atau akibat dari
perkembangbiakan bakteri pada peralatan penampung lochea (pembalut)
(Feerer, 2001).
Sedangkan menurut Hamilton (2002), lingkup
perawatan perineum adalah
1. Mencegah kontaminasi dari rektum
2. Menangani dengan lembut pada jaringan yang
terkena trauma
3. Bersihkan semua keluaran yang menjadi
sumber bakteri dan bau.
2.4.1
Waktu Perawatan
Menurut Feerer (2001), waktu perawatan
perineum adalah
1. Saat mandi
Pada saat mandi, ibu post partum pasti
melepas pembalut, setelah terbuka maka ada kemungkinan terjadi kontaminasi
bakteri pada cairan yang tertampung pada pembalut, untuk itu maka perlu
dilakukan penggantian pembalut, demikian pula pada perineum ibu, untuk itu
diperlukan pembersihan perineum.
2. Setelah buang air kecil
Pada saat buang air kecil, pada saat buang
air kecil kemungkinan besar terjadi kontaminasi air seni padarektum akibatnya
dapat memicu pertumbuhan bakteri pada perineum untuk itu diperlukan pembersihan
perineum.
3. Setelah buang air besar.
Pada saat buang air besar, diperlukan
pembersihan sisa-sisa kotoran disekitar anus, untuk mencegah terjadinya kontaminasi
bakteri dari anus ke perineum yang letaknya bersebelahan maka diperlukan proses
pembersihan anus dan perineum secara keseluruhan.
2.4.2
Penatalaksanaan
2.4.2.1 Persiapan
Ibu Pos Partum
Perawatan perineum sebaiknya dilakukan di kamar mandi
dengan posisi ibu jongkok jika ibu telah mampu atau berdiri dengan posisi kaki
terbuka.
Alat dan bahan
Alat yang digunakan adalah botol, baskom
dan gayung atau shower air hangat dan handuk bersih. Sedangkan bahan yang
digunakan adalah air hangat, pembalut nifas baru dan antiseptik (Fereer, 2001).
2.4.2.2 Penatalaksanaan
Perawatan khusus perineal bagi wanita
setelah melahirkan anak mengurangi rasa ketidaknyamanan, kebersihan, mencegah
infeksi, dan meningkatkan penyembuhan dengan prosedur pelaksanaan menurut
Hamilton (2002) adalah sebagai berikut:
1. Mencuci tangannya
2. Mengisi botol plastik yang dimiliki dengan
air hangat
3. Buang pembalut yang telah penuh dengan
gerakan ke bawah mengarah ke rectum dan letakkan pembalut tersebut ke dalam
kantung plastik.
4. Berkemih dan BAB ke toilet
5. Semprotkan ke seluruh perineum dengan air
6. Keringkan perineum dengan menggunakan
tissue dari depan ke belakang.
7. Pasang pembalut dari depan ke belakang.
8. Cuci kembali tangan
2.4.2.3 Evaluasi
Parameter yang digunakan dalam evaluasi
hasil perawatan adalah:
1. Perineum tidak lembab
2. Posisi pembalut tepat
3. Ibu merasa nyaman
2.5 Manfaat Daun Sirih Terhadap Penyembuhan Luka
Perineum
Kandungan kimia
dan sifat-sifat kimia daun sirih mengandung minyak atsiri yang terdiri dari
hidroksi kavikol, kavibetol, estragol, eugenol, metileugenol, karvakrol,. Sepertiga
dari minyak atsiri terdiri dari fenol dan sebagian besar adalah kavikol yang
memberikan bau khas daun sirih dan memiliki daya pembunuh bakteri lima kali
lipat dari fenol biasa (Moeljanto, 2003). Daun sirih mengandung saponin
(Widayat dkk, 2008) yang memacu pembentukan kolagen, yaitu protein struktur
yang berperan dalam proses penyembuhan luka (Chandel and Rastogi, 1979 cit
Suratman et al., 1996).
Berdasarkan penjelasan di atas, chavicol adalah salah satu komponen yang
terkandung dalam daun sirih yang dapat berfungsi sebagai antiseptik. Menurut
jurnal kesehatan dengan judul ”The Use of
Chavicol as Antiseptic” (2007), kegunaan Chavicol adalah sebagai berikut :
The invention relates to the use of chavicol (p-allylpenol) as an
antiseptic and, in particular, for the manufacture of a composition indicated
for the treatment of infected skin and scalp. The invention also relates to a
regimen or a method for the treatment of infected skin and scalp which
comprises topically applying a composition comprising chavicol.
Kandungan daun sirih hijau adalah minyak
atsiri yang mengandung antara lain chavicol dan chavibetol, yaitu senyawa yang
mempunyai khasiat antiseptik. Khasiat
antiseptik itu diduga erat berkaitan dengan pemakaiannya sebagai penghambat
pertumbuhan bakteri pada luka (Arifin, 2008).
2.6 Kerangka Konsep
Keterangan :
Diteliti
Tidak diteliti
Diteliti
Tidak diteliti
Bagan 2.1 Kerangka Konsep ”Pengaruh Penggunaan
Daun Sirih Terhadap Penyembuhan Luka
Perineum”
2.7 Hipotesis
H1 : Ada pengaruh penggunaan daun sirih terhadap
penyembuhan luka perineum pada ibu nifas di Desa Sumbermulyo, Kecamatan
Jogoroto, Jombang, 2010.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode
eksperimen. Metode eksperimen merupakan metode penelitian yang menguji
hipotesis berbentuk hubungan sebab akibat melalui pemanipulasian variabel
independen dan menguji perubahan yang diakibatkan oleh pemanipulasian tadi.
Metode eksperimen yang digunakan adalah Quasy Eksperimental Design
(rancangan eksperimental semu) dengan Post Test Only Control Group
(Sudrajat, 2005).
Dalam penelitian ini peneliti ingin
mempelajari tentang pengaruh penggunaan daun sirih terhadap penyembuhan luka
perineum dengan menganalisis perbedaan lama penyembuhan luka perineum antara
kelompok yang menggunakan daun sirih, dan kelompok yang tidak menggunakan daun
sirih.
Tabel 3.1
Rancangan Post Test Only Control Group
Subjek
|
Pra
|
Perlakuan
|
Pasca-Tes
|
R
|
-
|
I
|
O
|
R
|
-
|
-
|
O
|
Keterangan :
R :
Responden
I : Dilakukan
Perlakuan
O :
Dilakukan Pengukuran
(Nursalam,
2003)
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah di Desa
Sumbermulyo, Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang
3.2.2
Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan
mulai Bulan Februari-Mei 2010. Sedangkan pengumpulan data dilaksanakan pada bulan April-Mei 2010.
3.3 Populasi, Sample, Sampling
3.3.1
Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek
penelitian atau objek yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2005).
Pada penelitian ini populasinya adalah seluruh
ibu nifas hari ke-1 sampai hari ke-10 pada Bulan April-Mei yang ada di Desa
Sumbermulyo, Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang sebanyak 25 orang.
3.3.2
Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi
yang diteliti (Notoatmodjo, 2005). Sampel pada penelitian ini adalah seluruh
ibu nifas yang memenuhi kriteria penelitian yang telah ditetapkan, dan dalam
jangka waktu April-Mei 2010 di Desa
Sumbermulyo, Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang, sebanyak 20 orang, dimana
10 orang dilakukan perawatan perineum dengan menggunakan air rebusan daun
sirih, dan 10 orang tidak dilakukan perawatan perineum dengan menggunakan air
rebusan daun sirih.
3.3.3
Sampling
Sampling yang digunakan pada penelitian
ini adalah non probability sampling dengan jenis consecutive sampling,
yaitu pemilihan sample dengan menetapkan subyek yang memenuhi kriteria
penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga
jumlah pasien yang diperlukan terpenuhi (Nursalam, 2003).
3.4 Kriteria Penelitian
Kriteria penelitian adalah karakteristik
umum subyek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau yang akan
diteliti (nursalam, 2003).
Pada penelitian ini, kriteria
penelitiannya adalah :
- Ibu
nifas hari ke-1 yang berada di Desa Sumbermulyo, Jogoroto, Jombang.
- Paritas < 4.
- Laserasi perineum derajat 2.
- Jenis persalinan : normal.
- Ibu nifas yang tidak menderita penyakit
Diabetes atau penyakit lain yang dapt mempengaruhi penyembuhan luka.
- Ibu nifas yang tidak pantang makanan.
- Ibu nifas dengan luka perineum yang bersedia
menjadi responden.
3.5 Identifikasi Variabel
Identifikasi variabel pada penelitian
tentang pengaruh penggunaan daun sirih terhadap penyembuhan luka perineum ibu
nifas adalah:
3.5.1
Variabel Manipulasi
Variabel manipulasi adalah variabel yang
sengaja dapat diubah dan di manipulasi oleh peneliti. Variabel manipulasi
sengaja dibuat bervariasi oleh peneliti (Sugiyono, 2005).
Variabel manipulasi dalam penelitian ini
adalah penggunaan daun sirih. Terdapat 2 kelompok, yaitu kelompok yang diberi
perlakuan dengan menggunakan daun sirih, dan kelompok yang lain dengan tidak
menggunakan daun sirih.
3.5.2
Variabel Respon
Variabel respon adalah yaitu variabel yang
dipengaruhi oleh variabel manipulasi. ketika varianel manipulasi berubah,
variabel respon ikut berubah (Sugiyono, 2005).
Variabel respon penelitian ini adalah
penyebuhan luka perineum.
3.5.3
Variabel Kontrol
Variabel kontrol adalah merupakan variabel
yang dikendalikan atau dibuat konstan sehingga pengaruh variabel manipulasi
terhadap respon tidak dipengaruhi oleh faktor luar yang tidak diteliti
(Sugiyono, 2005).
Variabel-variabel kontrol dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1.
Derajat
luka perineum : derajat 2
2.
Jumlah
daun sirih yang digunakan
3.
Nutrisi
ibu nifas
4.
Tidak
ada kelainan penyembuhan luka, misalnya: keloid, atau diabetes.
5.
Jenis
antibiotik yang digunakan
6.
Tanpa
menggunakan obat anti inflamasi
7.
Jenis
analgesik yang digunakan
8.
Personal
Hygiene ibu nifas
9.
Cara
pembuatan dan penggunaan rebusan daun sirih
3.6 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional adalah suatu
penentuan mengenai wujud variabel yang akan dikaji dalam suatu penelitian.
Untuk mengkaji hipotesis, peneliti perlu menentukan atau memastikan variabel
apa saja yang akan dilibatkan dalam penelitian ini. Definisi operasional
bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap
variabel-variabel yang bersangkutan serta mengembangkan instrumen alat ukur
(Notoatmodjo, 2005).
Berdasarkan uraian di atas, maka
definisi operasional dalam penelitian ini adalah:
Tabel 3.2 Definisi Operasional
Variabel
|
Definisi Operasional
|
Parameter
|
Alat Ukur
|
Skor
|
Skala
|
Penggunaan daun sirih
|
Melakukan perawatan luka perineum
dengan rebusan air daun sirih.
|
Perawatan luka perineum dilakukan
dengan cebok air daun sirih 2x/hari.
|
Observasi
|
1 = jika menggunakan daun sirih
0 = jika tidak menggunakan daun
sirih
|
Nominal
|
Penyembuhan luka perineum
|
Lama kembalinya jaringan perineum
yang rusak seperti keadaan semula.
|
Cara melakukan observasi dengan
menganalisa penyembuhan luka melalui lembar observasi.
|
Observasi
|
Cepat bila luka sudah mengering, tidak timbul
nanah dan tanda-tanda infeksi, serta jahitan menutup dengan baik 1-3 hari.
Skor = 3
Sedang bila luka sudah mengering, tidak timbul
nanah dan tanda-tanda infeksi, serta jahitan menutup dengan baik 1-3
hari.Skor = 2
Lambat bila luka sudah mengering, tidak timbul
nanah dan tanda-tanda infeksi, serta jahitan menutup dengan baik lebih dari 7
hari. Skor = 1
|
Ordinal
|
3.7 Instrumen, Alat dan Bahan Penelitian
3.7.1
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah instrumen
penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan dalam pengumpulan data (Notoatmodjo
2002).
Dalam
penelitian ini penulis menggunakan jenis instrumen observasi terstruktur.
Observasi terstruktur adalah observasi fakta-fakta yang ada pada subyek, tetapi
lebih didasarkan pada perencanaan penelitian yang sudah disusun sesuai
pengelompokannya, pencatatan dan pemberian kode terhadap hal-hal yang sudah
ditetapkan (Nursalam, 2003).
3.7.2
Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan untuk melakukan penelitian
ini antara lain :
1. 5 lembar daun sirih
2. Air matang (mendidih) 1 L
3. Gelas ukur 1 buah
4. Baskom 1 buah
5. Kertas, pensil, dan penghapus
3.8 Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Prosedur penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Siapkan alat dan bahan
2.
Rebus 5 lembar daun sirih dalam 1 L air.
3.
Tunggu sampai air rebusan menjadi hangat-hangat kuku.
4.
Bersihkan vulva dan perineum dengan menggunakan air
bersih (apabila ada kotoran)
5.
Basuhkan air seduhan daun sirih yang telah
hangat-hangat kuku.
6. Jangan dibasuh air lagi dan keringkan.
7. Berikan K.I.E tentang nutrisi, mobilisasi,
dan personal hygiene.
8. Ulangi perawatan luka perineum ibu nifas
setiap pagi dan sore sampai luka perineum sembuh.
9. Catat perkembangan penyembuhan luka
perineum pada lembar observasi.
3.9 Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian
ini adalah dengan menggunakan data primer dan data sekunder.
3.9.1
Data Primer
Data primer pada penelitian ini didapatkan
dengan cara menentukan responden masuk ke dalam kelompok yang diberi perlakuan
atau kelompok yang tidak diberi perlakuan. Pada kelompok yang diberi perlakuan,
diberikan konseling tentang cara perawatan luka perineum dengan merebus daun
sirih sampai air berwarna kekuningan kemudian airnya digunakan cebok 2x/hari.
Sedangkan untuk kelompok yang tidak diberi perlakuan, tidak mendapatkan
perawatan luka perineum dengan air rebusan daun sirih.
Selama pasien melakukan perawatan luka
perineum, yang harus diperhatikan dan perlu diobservasi oleh peneliti setiap
harinya adalah warna luka, kapan luka mulai mengering dan menutup, apakah
terdapat jaringan parut, apakah timbul nanah serta hari keberapa luka menutup
dengan baik dan rasa nyeri hilang. Observasi dilakukan sampai dengan fase ke-2
dengan menggunakan lembar observasi untuk kesembuhan.
3.9.2
Data Sekunder
Data sekunder penelitian ini adalah data
seluruh ibu nifas yang diperoleh dari register persalinan pada bulan April-Mei
2010 di Desa Sumbermulyo, Jogoroto, Jombang, tentang jumlah ibu nifas.
3.10
Teknik Pengolahan Data
Setelah data dikumpulkan, data kemudian diolah dengan tahap-tahap sebagai berikut:
3.10.1 Editing
Pada penelitian ini,
penulis menggunakan lembar observasi yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Terdapat 2 lembar observasi (lampiran), dimana lembar observasi pertama
merupakan sebuah tabel yang diperuntukkan hasil pengamatan keadaan luka setiap
harinya. Sedangkan tabel kedua untuk mnuliskan hari dimana luka perineum sembuh
pada tiap-tiap responden.
3.10.2 Coding
Setelah
data diedit langkah berikutnya adalah mengkoding data, yaitu memberi kode
terhadap setiap jawaban yang diberikan. Tujuannya untuk memudahkan klasifikasi
data, menghindari terjadinya pencampuran data yang bukan jenis dan kategorinya.
Juga untuk memudahkan pada saat analisis data dan dan proses entry dengan
bantuan perangkat lunak komputer. Skor yang diberikan adalah sesuai dengan
teori penyembuhan luka, yaitu: 3 untuk luka yang cepat sembuh, 2 untuk yang
sedang, dan 1 untuk luka yang lama sembuh. Penulis juga memberikan kode pada
setiap responden, yaitu : R1
untuk responden 1, dan seterusnya.
3.10.3
Tabulating
Data yang telah diperoleh
kemudian diolah dan dianalisa secara deskriptif dan analitik untuk mempelajari
tentang pengaruh penggunaan daun sirih terhadap penyembuhan luka perineum. Data
diolah secara deskriptif yaitutentang karakteristik yang menggunakan tabel
istribusi responden dan disajikan dalam benuk tabel dan grafik.
3.10.4
Cleaning
Dilakukan dengan cara memasukan data yang telah dicoding ke dalam komputer.
Program yang digunakan adalah program khusus Uji Mann-Whitney U-Test.
3.11
Analisis Data
Penelitian ini menggunakan uji statistik
mutivariat dengan dua variabel. Skala penelitian ini adalah ordinal nominal, sehingga peneliti memilih uji Mann-Whitney
U-Test sebagai penguji hipotesis.
Metode statistik nonparametrik Mann-Whitney
dipakai apabila karakteristik kelompok item yang menjadi sumber sampelnya tidak
diketahui. Metode ini
diterapkan terhadap data yang diukur dengan skala ordinal dan dalam kasus
tertentu, dengan skala nominal. Pengujian nonparametrik bermanfaat untuk
digunakan apabila sampelnya kecil dan lebih mudah dihitung daripada metode
parametrik.
Menurut
Sugiyono (2005), untuk menghitung nilai statistik uji Mann-Whitney U,
rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
dimana:
U = Nilai uji
Mann-Whitney
N1=
sampel 1
N2= sampel 2
Ri = Ranking ukuran sampel
Prosedur
pengujian yang akan dilakukan adalah:
1.
Menyatakan Hipotesis dan α
H1 = Ada
pengaruh penggunaan daun sirih terhadap penyembuhan luka perineum pada ibu nifas desa Sumbermulyo, Kecamatan
Jogoroto, Jombang 2010.
a =
0,05
2.
Menyusun peringkat data tanpa memperhatikan kategori sample
Setelah
menyusun data, langkah berikutnya adalah menetapkan peringkat seluruh data
tanpa memperhatikan kategori sampelnya.
3.
Menjumlahkan peringkat menurut tiap kategori sampel dan
menghitung nilai statistik U.
Setelah peringkat semua data ditetapkan,
peringkat tiap kategori dijumlahkan.
Rumus
yang dapat digunakan untuk menghitung nilai statistik U:
U
= n1n2 + (n1 (n1 + 1))/2 – R1 U = n1n2 + (n2 (n2 + 1))/2 – R2
di
mana R1 = jumlah peringkat yang diberikan pada sampel dengan jumlah n1 R2 =
jumlah peringkat yang diberikan pada sampel dengan jumlah n2
Kedua
rumus ini kemungkinan besar akan menghasilkan dua nilai yang berbeda bagi U.
Nilai
yang dipilih untuk U dalam pengujian hipotesis adalah nilai yang paling kecil
dari kedua nilai tersebut.
Untuk
memeriksa apakah perhitungan kita atas nilai U benar, rumus berikut dapat
digunakan: Nilai U terkecil = n1n2 –
nilai U terbesar
4.
Penarikan kesimpulan statistik mengenai hipotesis nol
Setelah menghitung statistik U, kita menguji hipotesis nol secara resmi. Pengujian ini melibatkan pembanding
nilai hitung U dengan nilai U pada tabel yang cocok seandainya hipotesis nol benar. Tabel nilai
U memberikan nilai U untuk n1, n2, dan α yang cocok dengan asumsi bahwa
hipotesis nol adalah benar.
Aturan
pengambilan keputusannya ialah:
Tolak hipotesis nol jika nilai hitung U sama atau lebih kecil dari nilai
dalam tabel U, dan Terima hipotesis nol jika nilai hitung U lebih besar dari
nilai dalam tabel U.
5.
Pendekatan Normal untuk sampel yang lebih besar:
Ketika jumlah masing-masing sampel lebih dari 10 maka kita dapat
menentukan distribusi dari R1 yaitu normal (µ1, σ1).
3.12
Etika Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mendapat
persetujuan dari direktur institusi serta kepala desa dan bidan desa
Sumbermulyo, Kecamatan Jogoroto, Jombang. Setelah mendapatkan persetujuan, kemudian akan dilakukan
observasi dengan menekankan pada masalah etika sebagai berikut :
3.12.1 Inform Consent
Peneliti akan memberikan informasi yang
terperinci tentang penelitian yang akan dilakukan, bahwa tidak akan merugikan
responden. Setiap responden juga mempunyai hak untuk bebas berpartisipasi atau
menolakmenjadi responden. Pada inform
consent juga dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya akan dipergunakan
untuk pengembangan ilmu.
3.12.2 Tanpa nama (Anonimity)
Pada penelitian ini, peneliti akan merahasiakan
nama respnden, dengan hanya memberikan kode-kode pada tiap-tiap responden. Hal
ini penting untuk menjaga kerahasiaan apabila terdapat sesuatu atau kelainan
yang tidak ingi dipublikasikan.
3.12.3 Kerahasiaan (Confidentiality)
Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh
subyek dijamin oleh peneliti.
3.13
Keterbatasan
3.13.1
Literatur
Literatur yang digunakan peneliti salah
satunya menggunakan bahasa inggris. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan
literatur dalam bahasa indonesia. Untuk mengatasi masalah tersebut, penulis
mengambil point-point yang penting saja untuk dimasukkan dalam tinjauan
pustaka, selain itu merumuskan pembahasan di Bab IV dengan teks bahasa
indonesia, sehingga mudah dipahami.
3.13.2
Waktu
Waktu yang dimiliki penulis untuk meneliti
sangat terbatas. Hal ini membatasi pengambilan sample, sehingga validitas data
tidak bisa benar-benar diterapkan. Selain itu angka kesalahan juga dapat
bertambah karena tergesa-gesanya peneliti. Maka dari itu solusi untuk
meminimalkan keterbatasan tersebut adalah dengan cara menggunakan metode
sampling yang tepat, menggunakan uji statistik yang tepat, serta pengawasan
intensif terhadap variabel kontrol, sehingga tidak mengganggu variabel yang
lain.
3.13.3
Peneliti
Karena penelitian ini adalah yang pertama
kali dilakukan dan peneliti belum memiliki pengalaman sehingga banyak
sumber-sumber yang belum dimunculkan secara maksimal. Pengalaman yang kurang maksimal, dan faktor
kejenuhan serta kelelahan menjadi dasar kesalahan pada data.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini meliputi
data umum dan data khusus. Adapun data hasil penelitian terdiri dari data umum
responden yang meliputi usia pendidikan, serta paritas, dan data khusus yang
meliputi lama penyembuhan luka perineum ibu nifas yang menggunakan daun sirih
daun sirih dan ibu nifas yang tidak menggunakan daun sirih.
4.1.1
Data Umum
Data yang disajikan berupa karakter
responden berdasarkan usia, pendidikan, dan paritas yang didapat dari data ibu
nifas di Desa Sumber Mulyo Kecamatan Jogoroto yang memenuhi kriteria
penelitian.
4.1.1.1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu Nifas
Berdasarkan Usia
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu Nifas Berdasarkan Usia di Desa
Sumber Mulyo Kecamatan Jogoroto
Umur (tahun)
|
Kelompok Eksperimen
|
Kelompok Kontrol
|
Frekuensi
|
||
n
|
%
|
n
|
%
|
||
< 20
|
1
|
10
|
-
|
0
|
1
|
20-30
|
5
|
50
|
8
|
80
|
13
|
31-35
|
3
|
30
|
2
|
20
|
5
|
>35
|
1
|
10
|
-
|
0
|
1
|
Jumlah
|
10
|
100
|
10
|
100
|
20
|
Sumber : Data Primer yang diolah
Berdasarkan
tabel 4.1 diperoleh data pada kelompok eksperimen (yang menggunakan daun sirih) sebagian besar dari
responden yang berusia 20-30 tahun sebanyak 50% dan sebagian kecil berusia
>35 tahun sebanyak 10%, sedangkan pada kelompok kontrol (tanpa menggunakan
daun sirih) sebagian besar berusia 20-30 tahun sebanyak 80% dan sebagian kecil
berusia 31-35 tahun sebanyak 20%.
4.1.1.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu Nifas
Berdasarkan Pendidikan
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu Nifas Berdasarkan Pendidikan di Desa
Sumber Mulyo Kecamatan Jogoroto
Pendidikan Terakhir
|
Kelompok Eksperimen
|
Kelompok Kontrol
|
Frekuensi
|
||
n
|
%
|
n
|
%
|
||
SMA
|
3
|
30
|
4
|
40
|
7
|
SMP
|
5
|
50
|
3
|
30
|
8
|
SD
|
2
|
20
|
3
|
30
|
5
|
Jumlah
|
10
|
100
|
10
|
100
|
20
|
Sumber Sumber: Data Primer
yang diolah
Berdasarkan
tabel 4.2 diperoleh data pada kelompok eksperimen sebagian besar dari responden berpendidikan
SMP sebanyak 50% dan sebagian kecil berpendidikan SD sebanyak 20%, sedangkan
pada kelompok kontrol sebagian besar berpendidikan SMA sebanyak 40% dan
sebagian kecil berpendidikan SD sebanyak 30%.
4.1.1.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu Nifas
Berdasarkan Jumlah Anak
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu Nifas Berdasarkan Jumlah Anak di
Desa Sumber Mulyo Kecamatan Jogoroto
Paritas
|
Kelompok Eksperimen
|
Kelompok Kontrol
|
Frekuensi
|
||
n
|
%
|
n
|
%
|
||
1
|
3
|
30
|
3
|
30
|
6
|
2
|
5
|
50
|
6
|
60
|
11
|
3
|
2
|
20
|
1
|
10
|
3
|
Jumlah
|
10
|
100
|
10
|
100
|
20
|
Sumber
: Data Primer yang diolah
Berdasarkan
tabel 4.3 diperoleh data pada kelompok eksperimen sebagian besar dari responden yang mempunyai
anak 2 sebanyak 50% dan sebagian kecil mempunyai anak 3 sebanyak 20%, sedangkan
pada kelompok kontrol sebagian besar
mempunyai anak 2 sebanyak 60% dan sebagian kecil mempunyai anak 3 sebanyak 10%.
4.1.2
Data Khusus
4.1.2.1
Distribusi Frekuensi Ibu Nifas Berdasarkan Lama
Penyembuhan Luka Perineum Setelah Menggunakan Daun Sirih
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu Nifas Berdasarkan Lama Penyembuhan
Luka Perineum Setelah Menggunakan Daun Sirih di Desa Sumber Mulyo Kecamatan
Jogoroto
No.
|
Sembuh Hari ke-
|
Frekuensi
|
|
n
|
%
|
||
1.
|
3
|
6
|
60
|
2.
|
4
|
3
|
30
|
3.
|
5
|
1
|
10
|
|
Jumlah
|
10
|
100
|
Sumber : Data Primer yang diolah
Berdasarkan
tabel 4.4 diperoleh data pada kelompok eksperimen sebagian besar dari responden yang sembuh
pada hari ke-3 sebanyak 60%, sedangkan sebagian kecil sembuh pada hari ke-5
sebanyak 10%.
4.1.2.2 Distribusi Frekuensi Ibu Nifas Berdasarkan
Lama Penyembuhan Luka Perineum Tanpa Menggunakan Daun Sirih
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu Nifas Berdasarkan Lama
Penyembuhan Luka Perineum Tanpa Menggunakan Daun Sirih di Desa Sumber Mulyo
Kecamatan Jogoroto
No.
|
Sembuh Hari ke-
|
Frekuensi
|
|
n
|
%
|
||
1.
|
7
|
1
|
10
|
2.
|
8
|
4
|
40
|
3.
|
9
|
3
|
30
|
4.
|
10
|
2
|
20
|
|
Jumlah
|
10
|
100
|
Sumber : Data Primer yang diolah
Berdasarkan
tabel 4.5 diperoleh data pada kelompok eksperimen sebagian besar dari responden yang sembuh
pada hari ke-8 sebanyak 40%, sedangkan sebagian kecil sembuh pada hari ke-7
sebanyak 10%
4.1.2.3 Perbedaan Lama Penyembuhan Luka Perineum
Antara Perawatan Dengan Menggunakan Daun Sirih Dan Tanpa Menggunakan Daun Sirih
Pada Ibu Nifas
Tabel 4.6 Perbedaan Lama Penyembuhan Luka Perineum Pada Ibu Nifas di Desa
Sumber Mulyo Kecamatan Jogoroto
Sembuh Hari ke-
|
Perawatan dengan daun sirih
|
Perawatan tanpa daun sirih
|
Total
|
|||
n
|
%
|
n
|
%
|
n
|
%
|
|
3
|
6
|
60
|
-
|
-
|
6
|
30
|
4
|
3
|
30
|
-
|
-
|
3
|
15
|
5
|
1
|
10
|
-
|
-
|
1
|
5
|
6
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
0
|
7
|
-
|
-
|
1
|
10
|
1
|
5
|
>7
|
-
|
-
|
9
|
90
|
9
|
45
|
Total
|
10
|
100
|
10
|
100
|
20
|
100
|
Sumber : Data Primer yang diolah
Berdasarkan
tabel 4.6 diperoleh data perbedaan lama penyembuhan luka perineum antara yang
melakukan perawatan menggunakan daun sirih sebagian besar mengalami penyembuhan
luka perineum pada hari ke-6 sebanyak 60%, sedangkan yang tidak melakukan
perawatan daun sirih sebagian besar mengalami penyembuhan luka perineum lebih
dari 7 hari sebanyak 90%.
Grafik 4.1 Perbedaan
Penyembuhan Luka Perineum antara Kelompok Yang Menggunakan Daun Sirih Dan Yang
Tidak Menggunakan Daun Sirih
4.1.2.4 Pengolahan Daun Sirih
Hasil
pengolahan daun sirih :
1.
Lembar daun sirih yang direbus dengan 1000ml air
sehingga mendapatkan air rebusan sebanyak + 400-500 ml berwarna kuning
kehijauan.
2.
pH air rebusan daun sirih = + 4 (asam) (diukur
dengan mencelupkan indicator asam basa pada air rebusan daun sirih yang dibuat
oleh peneliti dengan konsentrasi 20%)
3.
Setelah diendapkan semalam, terjadi proses oksidasi
sehingga warna air rebusan berubah menjadi cokelat.
4.1.3
Analsis Data dengan Mann Whitney U-Test
Tabel 4.6 merupakan hasil penelitian
secara manual tentang perbedaan lama penyembuhan antara responden yang
menggunakan daun sirih dan yang tidak menggunakan daun sirih. Dalam sub bab ini
akan dilakukan analisis secara mendalam mengenai pengaruh penggunaan daun sirih
terhadap penyembuhan luka perineum ibu nifas dengan menggunakan metode Mann
Whitney U-test secara manual dan SPSS.
1.
Mann Whitney U-Test secara manual
Tabel 4.7 Perolehan Data
Responden
|
Kelompok Eksperimen
|
Kelompok Kontrol
|
||
Sembuh hari ke-
|
skor
|
Sembuh hari ke-
|
skor
|
|
R-1
|
6
|
3
|
8
|
1
|
R-2
|
4
|
5
|
9
|
1
|
R-3
|
5
|
4
|
7
|
2
|
R-4
|
6
|
3
|
8
|
1
|
R-5
|
5
|
4
|
10
|
1
|
R-6
|
5
|
4
|
10
|
1
|
R-7
|
6
|
3
|
9
|
1
|
R-8
|
6
|
3
|
8
|
1
|
R-9
|
6
|
3
|
9
|
1
|
R-10
|
6
|
3
|
8
|
1
|
Prosedur pengujian :
- Menyatakan hipotesis dan a
H0 : Tidak ada pengaruh penggunaan daun sirih terhadap
penyembuhan luka perineum Desa Sumber Mulyo, Kecamatan Jogoroto, Jombang
H1 : Ada pengaruh pengguanaan daun sirih
terhadap penyembuhan luka perineum pada ibu nifas Desa Sumber Mulyo, Kecamatan
Jogoroto, Jombang.
a = 0,005
- Perhitungan Mann Whitney U-Test dan
penarikan kesimpulan.
Ueksperimen = (10 x 10) + {10 (10+1)/2} – 150,50 =
4,50
Ukontrol = (10 x 10) + {10 (10+1)/2} – 59,50
= 95,5
Jadi,
Ueksperimen < Ukontrol dan yang dipakai untuk perbandingandengan Utabel
adalah Ueksperimen = 4,50
Berdasarkan
tabel harga kritis Mann Whitney U-Test untuk n1=10, n2=10 adalah 22, jadi Utabel
= 22
Ueksperimen
< Utabel , maka H0
ditolak, dengan arti lain ada pengaruh penggunaan daun sirih terhadap
penyembuhan luka perineum ibu nifas Desa Sumber Mulyo, Kecamatan Jogoroto,
Jombang.
- Mann Whitney U-Test
dengan metode SPSS
Hasil
U-Test (Mann Whitney U-Test), selengkapnya penulis sajikan pada tabel berikut:
Tabel 4.8 Uji Mann Whitney
U-Test (SPSS)
|
Penyembuhan Luka
Perineum
|
Mann Whitney U-Test
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig.
(2-tailed)
Exact Sig.
[2*(1-tailed sig.)]
|
.000
55.000
-4.028
.000
.000a
|
a. Not corrected for ties
b. Grouping variable: Penggunaan Daun Sirih
Sumber:
Output SPSS
1. Hipotesis :
H0 : Tidak ada pengaruh penggunaan daun sirih terhadap
penyembuhan luka perineum Desa Sumber Mulyo, Kecamatan Jogoroto, Jombang.
H1 : Ada pengaruh pengguanaan daun sirih
terhadap penyembuhan luka perineum pada ibu nifas Desa Sumber Mulyo, Kecamatan
Jogoroto, Jombang.
2. Ketentuan :
- Dengan a 0,05 (pengujian dua sisi) maka :
- H0 diterima jika : - 1,96 £Zh£1,96
- H1 diterima jika : + Zh> +1,96 atau -Zh<- 1="" o:p="">->
3. Kesimpulan :
- Dari hasil uji U-Test di atas, didapat harga
Zh = -4.028 < -1,96 dengan Asymp.sig = 0.000 < 0,05.
Dengan demikian H0 ditolak. Kesimpulannya, terdapat perbedaan
lama penyembuhan luka perineum antara kelompok yang menggunakan daun
sirih dan kelompok yang tidak menggunakan daun sirih. Dengan kata lain,
terdapat pengaruh penggunaan daun sirih terdapat penyembuhan luka
perineum ibu nifas.
- Estimasi % signifikansi pengaruh daun sirih
terhadap penyembuhan luka perineum dapat dihitung dengan menggunakan
kuadrat hasil Pearson’s R atau Spearman Correlation, yaitu:
Value of Spearman Correlation = 0, 924
Kuadrat
Spearman Correlation = 0,853776
%
Signifikan Data = 0,853776 X 100 % = 85, 3776 %
Kesimpulannya,
pengaruh daun sirih terhadap penyembuhan luka perineum adalah sebesar 85,
3776 %
4.2
Pembahasan
4.2.1
Analisis Penggunaan Daun Sirih
Daun sirih yang digunakan dalam penelitian
ini sengaja melalui perhitungan yang telah diatur sebelumnya agar dapat
mengetahui konsentrasi chavicol yang
terdapat di dalam daun sirih. Penggunaan daun sirih sebanyak 2x sehari juga
dimaksudkan agar kontak air rebusan daun sirih lebih sering kontak dengan luka
perineum.
Pada proposal sebelum melakukan penelitian
ini, disebutkan bahwa pembuatan air rebusan daun sirih adalah dengan merebus
1000 ml air dengan 5 lembar daun sirih, padahal pada kenyataanya responden
enggan menimbang dan mengukur alat dan bahan, sehingga diperoleh konsentrasi
yang berbeda-beda pada setiap penggunaan. Hal ini tentunya tidak dapat
memastikan berapa konsentrasi daun sirih yang dapat bersifat medikatif atau
antiseptis sehingga dapat mempengaruhi penyembuhan luka perineum.
Berdasarkan hasil penelitian, pH air
rebusan daun sirih adalah + 4 sehingga cocok denga lingkungan fisiologis
vagina. Namun pH yang peneliti ukur secara insidental belum dapat menjadi
ukuran paten sehingga harus dilakukan uji laboratorium secara insentif.
meneliti
Zat yang dapat menghambat pertumbuhan
kuman yang terkandung pada Sirih antara lain adalah zat phenol betle (cavicol,
cavibetol, carvacrol, eugenol dan alliphyrocatechol). Menurut penelitian dari
Sjoekoer dkk (Peneliti mikrobiologi dari FK Unibraw) bahwa infusum sirih dapat
menghambat pertumbuhan E.coli, Staphylococcus koagulase positif, Salmonella
typhosa, bahkan Pseudomonas aeruginosa yang kerap kali resisten terhadap
antibiotik. Menurut penelitian penulis, sebenarnya pada konsentrasi
3,25% sudah terjadi penghambatan pertumbuhan Candida albicans, tetapi hambatan
total (tidak didapatkan koloni kuman)baru terjadi pada konsentrasi 7,5%. Kematian
kuman ini diduga disebabkan karena adanya perusakan membran plasma, inaktivasi
enzim, dan denaturasi protein.
Menurut Morison (2004), karakteristik
antiseptic ideal adalah sebagai berikut :
1. Membunuh mikro-organisme dalam rentang
luas
2. Tetap efektif terhadap berbagai macam
pengenceran
3. Non Toksik terhadap tubuh manusia
4. Tidak mudah menimbulkan reaksi
sensitivitas, baik lokal maupun sistemik.
5. Bereaksi secara cepat
6. Bekerja secara efisien, meski terdapat
bahan-bahan organik (misalnya: pus, darah atau sabun).
7. Tidak mahal
8. Awet
Berdasarkan karakteristik tersebut, daun
sirih dapat masuk sebagai golongan antiseptik ideal, namun harus dilakukan
percobaan laboratorium dan penelitian yang lebih lanjut dan mendalam.
4.2.2
Analisis Penyembuhan Luka Perineum pada
Kelompok yang Tidak Memakai daun Sirih
Berdasarkan hasil penelitian pada kelompok
kontrol, 90% responden mengalami
penyembuhan luka lebih dari 7 hari, dengan 40% dari responden sembuh pada hari
ke-8, 30% dari responden sembuh pada hari ke-9, sisanya sembuh pada hari ke-7
dan 10.
Hal
ini sedikit berbeda dengan pendapat Prawirohardjo (2006) bahwa perlukaan jalan lahir rata-rata akan sembuh
dalam 6 sampai 7 hari apabila tidak terjadi infeksi, atau dalam kata lain lebih
lambat dari rata-rata sembuh yang ditetapkan Prawirohardjo. Pada saat
penelitian, semua responden tidak mengalami tanda-tanda infeksi, atau alergi,
sehingga membuat peneliti mencari faktor lain yang menjadi penyebab lambatnya
luka perineum untuk sembuh. Faktor-faktor yang memungkinkan menjadi penyebab
adalah sebagai berikut:
1.
Usia sebagian besar responden adalah > 25 tahun (80%)
Dengan
penuaan, baik kulit dan jaringan otot kehilangan nada dan
elasticity. elastisitas. Metabolisme juga melambat, dan mungkin sirkulasi terganggu. Semua faktor ini dapat memperpanjang waktu penyembuhan.
elasticity. elastisitas. Metabolisme juga melambat, dan mungkin sirkulasi terganggu. Semua faktor ini dapat memperpanjang waktu penyembuhan.
2. Berat badan responden (ukuran ketersediaan
lemak tubuh)
Pada pasien obesitas usia apapun, kelebihan
lemak pada lokasi luka dapat mencegah mengamankan penutupan yang baik. Selain
itu, lemak tidak memiliki pasokan darah yang kaya, sehingga yang paling rentan
dari semua jaringan terhadap trauma dan infeksi.
3. Nutrisi yang tidak adekuat (tidak sesuai dengan
gizi seimbang)
Peneliti sudah berusaha untuk mengontrol asupan
nutrisi dengan cara penyuluhan dan konseling intensif. Namun peneliti tidak
menjamin apakah responden menerapkannya dengan sungguh-sungguh.
4. Tidak digunakannya Asam Mefenamat sebagai anti
inflamasi
Pada penelitian ini, Asam Mefenamat tidak
digunakan dengan harapan proses inflamasi dapat berlangsung normal tanpa
bantuan medikasi. Sedangkan pada kelompok kontrol, 60% responden merupakan ibu
paritas 2, yang pernah mengkonsumsi Asam Mefenamat pada masa awal nifasnya,
sehingga tubuh responden terbiasa untuk menerima obat anti inflamasi untuk
membantu penyembuhan lukanya.
5. Kekebalan tubuh responden
Karena respon imun melindungi dari infeksi, immunodeficiencies
serius dapat mengganggu hasil dari prosedur bedah. Belum diketahui berapa
responden yang mengalami penurunan imun. Hal ini karena peneliti tidak
melakukan observasi terhadap kekebalan tubuh.
6. Adanya invasi bakteri.
Dengan semua jenis luka - luka bahkan yang
tampaknya kecil - selalu ada bahaya perkalian cepat bakteri . Orang tua dan orang dengan
penurunan imunitas beresiko besar untuk yang berhubungan
dengan infeksi luka.
7. Penggunaan antibiotik
Penggunaan antibiotik adalah sebagai penurun frekuensi
infeksi. Tetapi keputusan untuk menggunakan, lokal, atau harus didasarkan pada
kondisi pasien, yang jenis, panjang, dan lingkungan operasi, luka kontaminasi,
dan status kekebalan sistemik. Penggunaan diluar ketentuan penelitian dapat
mempengaruhi lama penyembuhan luka perineum.
4.2.3
Analisis Pengaruh Penggunaan Daun Sirih
terhadap Penyembuhan Luka Perineum
Berdasarkan hasil analisis data yang
diperoleh dari metode Mann Whitney U-Test secara manual dan SPSS,
diperoleh hasil bahwa ada pengaruh daun sirih terhadap penyembuhan luka
perineum. Penyembuhan luka pada kelompok eksperimen sebagian besar terjadi pada
hari ke-3 sebanyak 60%. Hal ini dikarenakan kandungan antiseeptik pada air
rebusan daun sirih.
Hasil penelitian tersebut sudah sesuai
dengan lembar observasi PUSH (Pressure Ulcer Scale for Healing) dan
mengobservasi luka sampai pada fase proliferatif, yaitu pada saat pembuluh
darah baru, yang diperkuat oleh jaringan ikat, menginfiltrasi luka. Rata-rata kesembuhan luka pada kelompok
eksperimen terjadi pada hari ke- 3 samapai dengan hari ke-4. Hal ini lebih
cepat dengan pendapat Prawirohardjo (2006) bahwa perlukaan jalan lahir
rata-rata akan sembuh dalam 6 sampai 7 hari apabila tidak terjadi infeksi.
Kesembuhan luka perineum terjadi dengan
proses cepat dikarenakan ibu nifas menggunakan air rebusan daun sirih untuk
cebok minimal 2x/hari setelah mandi. Sesuai dengan
pendapat Damayanti (2003) yang menyatakan bahwa perawatan perlukaan jalan lahir
menggunakan daun sirih dengan cara merebus dan menggunakan airnya untuk cebok
atau membersihkan perlukaan jalan lahir dapat mempercepat penyembuhan luka,
karena daun sirih mengandung chavicol, dan beberapa senyawa biokimia lain.
Senyawa biokimia ini meemiliki daya membunuh kuman, jamur dan bakteri 5 kali
lipat dari phenol biasa serta mengandung antioksidan. Selain itu daun sirih
juga merupakan antiseptik alami yang tidak memiliki efek samping sehingga aman
untuk digunakan. Dengan penggunaanair rebusan daun sirih untuk cebok akan
membantu kecepatan proses penyembuhan luka, tetapi harus dilakukan dengan benar
dan minimal digunakan 2x/hari.
Meskipun sebagian besar responden yang mengalami
penyembuhan luka dengan dengan proses cepat rata-rata berpendidikan sedang
(SMP), mereka dapat melakukan perawatan luka dengan baik dan benar, hal ini
tidak lepas dari peran petugas kesehatan untuk memberikan penjelasan secara
intensif sehingga proses penyembuhan berjalan lancar dan luka sembuh dengan
cepat tanpa adanya komplikasi.
Selain tindakan perawatan yang dilakukan,
menurut Smelzer (2002), penyembuhan luka dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain : medikasi, tradisi, gizi, kondisi ibu, gizi dan pengetahuan yang
sudah dikontrol oleh peneliti.
Dengan mengontrol beberapa variabel
tersebut, peneliti mendapatkan hasil yang homogen pada setiap responden, serta
tidak mengganggu variabel yang lain. Namun dalam kenyataan,
ada 40% responden yang sembuh lebih dari hari ke-3. Hal ini dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Berat badan responden (ukuran ketersediaan
lemak tubuh)
2. Umur responden
3. Ketidakpatuhan responden dalam menggunakan
daun sirih
Peneliti hanya mengobservasi 1x/hari,
sehingga tidak dapat dipastikan apakah ibu melakukan perawatan perineum dengan
menggunakan daun sirih atau tidak di luar kunjungan peneliti.
4. Nutrisi yang tidak adekuat (tidak sesuai
dengan gizi seimbang)
5. Konsentrasi tiap air rebusan daun sirih
yang berbeda
6. Ibu tidak melakukan mobilisasi dini
Faktor-faktor tersebut secara tidak
langsung dapat mempengaruhi penyembuhan luka perineum. Oleh karena itu
diharapkan pada penelitian selanjutnya, faktor-faktor yang telah disebutkan
diatas hendaknya dikontrol dan diobservasi.
4.2.4
Keterbatasan Penelitian
4.2.4.1 Keterbatasan Instrumen
Meskipun beberapa faktor sudah dikontrol, namun ada
beberapa faktor yang menjadi perancu dalam penelitian ini, diantaranya adalah:
1. Berat badan responden (ukuran ketersediaan
lemak tubuh)
2. Ketidakpatuhan responden dalam menggunakan
daun sirih
3. Nutrisi yang tidak adekuat (tidak sesuai
dengan gizi seimbang)
4. Konsentrasi tiap air rebusan daun sirih
yang berbeda
5. Pengukuran pH yang kurang valid
4.2.4.2 Keterbatasan Waktu
Pengambilan data dilakukan pada akhir
bulan April sampai dengan bulan Mei akhir. Dari waktu tersebut peneliti hanya
bisa mengambil sampel dari satu tempat saja. Apabila peneliti memiliki waktu
yang lebih lama, selain responden yang didapat lebih banyak, observasi
penyembuhan dapat menjangkau sampai fase maturasi (benar-benar sembuh).
4.2.4.3 Keterbatasan Peneliti
Keterbatasan pengamatan peneliti dan unsur
subjektivitas masih sangat mempengaruhi penelitian ini. Hal ini sudah dapat
diminimalkan dengan penggunaan lembar observasi PUSH. Namun kurangnya kemampuan
peneliti membuat hasil penelitian ini kurang sempurna. Diharapkan pada
penelitian selanjutnya, observer terdiri dari beberapa orang dalam satu tim,
sehingga dapat menghindari subjektivitas dalam penelitian.
Selain itu harus dilakukan pengontrolan
ketat terhadap asupan nutrisi, dengan cara memperhatikan gizi responden dalam
artian memberikan asupan gratis kepada responden yang kurang mampu. Yang
dilakukan oleh peneliti hanyalah pengontrolan dengan menggunakan sistem
konseling.
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil analisis yang dijelaskan pada bab sebelumnya, peneliti dapat menarik
kesimpulan dan implikasi agar dapat diperhatikan peneliti lain yang ingin
meneliti tentang pengaruh penggunaan daun sirih terhadap penyembuhan luka
perineum.
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Penggunaan daun sirih pada penelitian ini
adalah dengan cara membasuh perineum dengan menggunakan air hasil rebusan daun
sirih 2x/hari.
2. Penyembuhan luka perineum kelompok yang
menggunakan daun sirih adalah 60% di hari ke-3 dan 90% lebih dari 7 hari pada
kelompok yang tidak menggunakan daun sirih. Artinya responden yang menggunakan
daun sirih lebih cepat penyembuhan luka perineumnya dibandingkan dengan
responden yang tidak memakai daun sirih.
3.
Berdasarkan hasil uji Mann Whitney U-Test, didapat
harga Zh = -4.028 < -1,96 dengan Asymp.sig = 0.000 < 0,05.
Dengan demikian H0 ditolak. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa
ada pengaruh penggunaan daun sirih terhadap penyembuhan luka perineum ibu nifas
di Desa Sumber Mulyo, Kecamatan Jogoroto. Hal ini disebabkan oleh kandungan
chavicol yang membuat air rebusan daun sirih dapat menjadi antiseptik.
4. Terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka perineum pada penelitian
ini, yang didapat saat penelitian. Diantaranya
adalah usia responden, ukuran ketersediaan lemak tubuh, dan kekebalan tubuh
responden.
5.2
Saran
5.2.1
Bagi Ibu Nifas
Diharapkan
dapat membudidayakan tanaman sirih sebagai antiseptic yang dapat mempercepat
penyembuhan luka perineum.
5.2.2
Bagi Bidan
Diharapkan
dapat melakukan sosialisasi penggunaan daun sirih sebagai alternative pilihan
jika antiseptic lain tidak tersedia, khususnya bagi bidan yang berada di daerah
terpencil sehingga ibu nifas lebih yakin bahwa membasuh perineum dengan
menggunakan air rebusan daun sirih juga dapat mempercepat proses penyembuhan
luka perineum karena tidak menimbulkan efek samping sehingga aman digunakan
serta lebih murah.
5.2.3
Bagi Profesi Kesehatan
Dari
hasil penelitian ini, penulis mengharapkan agar dapat dijadikan sebagai bahan
inspirasi dan pertimbangan bagi bidan di Indonesia dalam memeberikan asuhan
kebidanan pada ibu nifas dengan luka perineum terutama dalam meningkatkan mutu
pelayanan bagi masyarakat.
5.2.4
Bagi Peneliti Selanjutnya
Peneliti
berharap kepada peneliti lain untuk lebih memperdalam penelitian ini dengan
mencoba mengontrol beberapa faktor yang dapat memengaruhi penyembuhan luka atau
melakukan uji laboratorium sehingga hasil penelitian yang didapatkan semakin akurat.
0 komentar:
Posting Komentar