BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Induksi Persalinan Dengan Oksitosin Drip
2.1.1
Pengertian
Induksi persalinan adalah suatu proses untuk memulai aktivitas uterus
untuk mencapai pelahiran pervaginam. Induksi memiliki rentang 10% dan 25%
mencerminkan kebijakan saat ini, pola rujukan dan terkadang merupakan pilihan
ibu. Persalinan dimulai prinsipnya untuk memberikan keuntungan baik kepada ibu,
janin maupun keduanya dan sebagai suatu prosedur propilaktik elektif (David
T.Y. LIU; 2007 :182).
Induksi persalinan adalah cara untuk memulai persalinan secara artifisial
dengan memecahkan ketuban dan memberikan oksitosin atau prostaglandin untuk
menstimulasi kontraksi (dr. Miriam Stoppard 2009 : 300).
2.1.1.1 Indikasi
Untuk Induksi
2.1.1.2 Ibu
Kondisi medis atau obstetrik yang tidak berespon terhadap pengobatan dan
mengancam kesehatan ibu, seperti gagal jantung, pre-eklampsia berat dan
penurunan fungsi ginjal atau gangguan sistem saraf pusat, mengindikasikan
induksi.
2.1.1.3 Janin
Pada janin adanya retardasi pertumbuhan yang progesif, abnormalitas yang
tidak memungkinkan kehidupan, atau kematian janin, semuanya merupakan indikasi
untuk induksi.
2.1.1.4 Janin dan ibu
Induksi persalinan juga di indikasikan jika menguntungkan baik ibu maupun
janin, seperti pada diabetes yang tidak terkontrol setelah pecah ketuban atau
jika terdapat koriomniotis. Indikasi ini khususnya berkaitan dengan praktik
kebidanan kontemporer yang mempertimbangkan wanita yang sebelumnya memiliki
masalah medis untuk tidak boleh hamil sekarang harus siap untuk memiliki
masalah medis untuk tidak boleh hamil sekarang harus siap untuk menerima resiko
penyerta menjadi ibu (David T,Y.
LIU,2007: 182).
2.1.2
Induksi Persalinan Sebagai Profilaksis
Induksi persalinan di
pertimbangkan untuk mengantisipasi kemungkinan komplikasi contohnya adalah :
1.
Fakta menunjukkan bahwa
janin paling baik dilahirkan sebelum 10 hari postterem (usia kehamilan 40
minggu penuh). Induksi profilaksis mengurangi insiden
seksio secaria, pelahiran dengan bantuan alat, gangguan janin selama persalinan
dan mortalitas perinatal.
2.
Untuk mencapai
pengontrolan terbaik setelah perssalinan yang dirangsang sebelumnya (persalinan
kurang dari 2 jam).
3.
Untuk menghindari
kematian janin sebelum kematian mendadak yang tidak dapat dijelaskan setelah marturitas janin.
4.
Untuk menghindari
makrosomia dan komplikasi atau distosia bahu khususnya pada ibu diabetik (David
T.Y.LIU,2007:183).
2.1.3
Kontraindikasi Untuk Induksi
Induksi persalinan tidak boleh
dilakukan pada keadaan-keadaan berikut ini :
1.
Kontraksi /faktor penyulit untuk partus pervaginam
pada umumnya: adanya disproporsi sefalopelvik, plasenta previa, kelainan letak/ presentasi janin
2.
Riwayat section secaria (Resiko ruptur
uteri lebih tinggi)
3.
Ada hal-hal lain dapat memperbesar resiko jika tetap
dilakukan partus partus pervaginam, atau jika sectio
secaria selektif merupakan pilihan yang terbaik (Winjosastro
Hanifa, 2003).
2.1.4
Cara Pemberian Oksitosin Drip
Gunakan oksitosin dengan sangat
hati-hati karena dapat terjadi gawat janin akibat hiperstimulasi dan dapat
terjadi ruptur uterus, walaupun jarang. Ibu multy para memiliki resiko ruptur
uterus yang lebih tinggi.
1.
Kandung kemih dan rectum
terlebih dahulu dikosongkan
2.
Obsevasi ibu yang
mendapatkan oksitosin secara cermat
3.
Pantau denyut nadi,
tekanan darah, kontraksi ibu, serta periksa denyut jantung janin.
4.
Infuskan oksitosin 2,5
unit dalam 500 ml dektrosa (atau salin normal) dengan kecepatan 10 tetes
permenit
5.
Tingkatkan kecepatan
infuse 10 tetes permenit setiap 30 menit sampai terbentuk pola kontraksi yang
baik (tiga kali kontraksi dalam 10 menit, setip kontraksi berlangsung lebih
dari 40detik ).
6.
Pertahankan kecepatan infuse
ini sampai pelahiran selesai
7.
Jika terjadi
hiperstimulasi (setiap kontraksi berlangsung lebih dari 60 detik) atau jika
terjadi lebih dari empat kali kontraksi dalam 10 menit, hentikan infuse dan
relaksasikan uterus dengan menggunakan tokolitik.
a.
Terbutalin 250 mg melalui
IV secara perlahan selama lima menit.
b.
ATAU salbutamol 10 mg
dalam 1 L cairan IV (salin normal atau laktat Ringer) dengan kecepatan 10 tetes
per menit.
8.
Jika tidak terbentuk pola
kontraksi yang baik pada kecepatan infuse 60 tetes permenit.
a.
Tingkakan konsentrasi
oksitosin menjadi 5 unit dalam 500 ml dektrosa (salin normal) dan atur
kecepatan infuse menjadi 30 tetes permenit (15 mlU per menit).
b.
Tingkatkan kecepatan
infuse 10 tetes per menit setiap 30 menit sampai terbentuk pola kontraksi yang
baik tau sampai di capai kecepatan masimal 60 tetes per menit.
9.
Jika tetap belum
terbentuk pola kontraksi yang baik dengan penggunaan konsentrasi oksitosin yang
tinggi.
a.
Induksi gagal jika
terjadi pada multigravida dan pada ibu memiliki jaringan parut akibat sectio
secaria sebelumnya; lahirkan janin melalui section secaria.
b.
Jangan menggunakan
oksitosin 10 unit dalam 500 ml (yaitu 20 ml U / ml) pada multigravida dan pada
bu riwayat section secaria.
c.
Pada primi gravida
infuskan oksitosin konsentrasi tinggi (10 unit dalam 500 ml ).
d.
Jika tidak terbentuk
kontraksi yang baik pada dosis maksimal, lahirkan janin melalua sectio secaria (Devi Yulianti, 2005:252)
2.1.5
Persyaratan Dilakukan Oksitosin Drip
Induksi persalinan akan
berhasil bila memperhatikan beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Kehamilan aterm
2. Ukuran panggul normal
3. Tak ada CPD
4. Janin dalam presentasi kepala
5. Servik telah matang (portio lunak, mulai mendatar
dan sudah mulai membuka) (Israr, 2009).
2.1.6
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pemberian OD
1.
Hipertensi dalam
kehamilan
2.
Post maturitas
3.
KPD
4.
Fase laten memanjang
5.
Diabetes Melitus (DM)
6.
Penyakit ginjal berat
7.
Hidramnion
8.
Anensefalus
9.
Gawat janin
10.
Primigravida Tua
11.
Ante partum bleeding (Sastrawinata,2000
: 21)
2.1.7
Hypertensi Dalam Kehamilan
Hipertensi dalam
kehamilan berarti tekanan darah meninggi saat hamil. Keadaan ini biasanya mulai
pada trimester ketiga, atau tiga bulan terakhir kehamilan. Kadang-kadang timbul
lebih awal, tetapi hal ini jarang terjadi. Tidak diketahui mengapa tekanan
darah bisa meninggi di saat hamil. Keadaan ini paling sering terjadi pada hamil
anak pertama, dan lebih jarang pada hamil anak selanjutnya.
Dikatakan tekanan
darah tinggi dalam kehamilan jika tekanan darah sebelum hamil (saat periksa
hamil) lebih tinggi dibandingkan tekanan darah di saat hamil. Pengobatan
hipertensi dalam kehamilan tergantung pada sejumlah faktor, yaitu usia
kehamilan, beratnya hipertensi, dan kemampuan bayi mentoleransi peningkatan
tekanan darah.
Pengobatan biasanya
hanya istirahat dan pemantauan tekanan darah yang lebih sering. Pemeriksaan
lain yang dilakukan adalah pemeriksaan darah, pemantauan denyut jantung janin,
pemeriksaan urine untuk mengetahui ada tidaknya protein, dan penentuan volume
cairan amnion dan keadaan pertumbuhan bayi jika perlu.
Satu-satunya hal
yang dapat mengatasi hipertensi dalam kehamilan adalah melahirkan. Setelah
melahirkan, gangguan ini bisa langsung sembuh, atau bertahan beberapa jam
sampai beberapa minggu (www.google.com
Dr. Sutrisno diakses tanggal 19 Mei 2010 jam 21.00 wib).
2.1.8
Post Maturitas (Kehamilan Lewat
Waktu)
Kehamilan lewat
bulan (serotinus) ialah kehamilan yang berlangsung lebih dari perkiraan hari
taksiran persalinan yang dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT),
dimana usia kehamilannya telah melebihi 42 minggu (>294 hari).
1.
Penyebab
Penyebab pasti
kehamilan lewat waktu sampai saat ini belum kita ketahui. Diduga penyebabnya
adalah siklus haid yang tidak diketahui pasti, kelainan pada janin (anenefal,
kelenjar adrenal janin yang fungsinya kurang baik, kelainan pertumbuhan tulang
janin/osteogenesis imperfecta; atau kekurangan enzim sulfatase plasenta).
Beberapa faktor
penyebab kehamilan lewat waktu adalah sebagai berikut:
a.
Kesalahan dalam penanggalan, merupakan
penyebab yang paling sering.
b.
Tidak diketahui.
c.
Primigravida dan riwayat kehamilan lewat
bulan.
d.
Defisiensi sulfatase plasenta atau
anensefalus, merupakan penyebab yang jarang terjadi.
e.
Jenis kelamin janin laki-laki juga
merupakan predisposisi.
f.
Faktor genetik juga dapat memainkan
peran.
Jumlah kehamilan
atau persalinan sebelumnya dan usia juga ikut mempengaruhi terjadinya kehamilan
lewat waktu. Bahkan, ras juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap
kehamilan lewat waktu. Data menunjukkan, ras kulit putih lebih sering mengalami
kehamilan lewat waktu ketimbang yang berkulit hitam. Di samping itu faktor
obstetrik pun ikut berpengaruh. Umpamanya, pemeriksaan kehamilan yang terlambat
atau tidak adekuat (cukup), kehamilan sebelumnya yang lewat waktu, perdarahan
pada trimester pertama kehamilan, jenis kelamin janin (janin laki-laki lebih
sering menyebabkan kehamilan lewat waktu ketimbang janin perempuan), dan cacat
bawaan janin.
2.
Diagnosis
Diagnosis kehamilan
lewat waktu biasanya dari perhitungan rumus Naegele setelah mempertimbangkan
siklus haid dan keadaan klinis. Bila ada keraguan, maka pengukuran tinggi
fundus uterus serial dengan sentimeter akan memberikan informasi mengenai usia
gestasi lebih tepat. Keadaan klinis yang mungkin ditemukan ialah air ketuban
yang berkurang dan gerakan janin yang jarang.
Ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi dalam mendiagnosis kehamilan lewat waktu, antara lain:
a.
HPHT jelas.
b.
Dirasakan gerakan janin pada umur
kehamilan 16-18 minggu.
c.
Terdengar denyut jantung janin (normal
10-12 minggu dengan Doppler, dan 19-20 minggu dengan fetoskop).
d.
Umur kehamilan yang sudah ditetapkan
dengan USG pada umur kehamilan kurang dari atau sama dengan 20 minggu.
e.
Tes kehamilan (urin) sudah positif dalam
6 minggu pertama telat haid.
Bila telah dilakukan
pemeriksaan USG serial terutama sejak trimester pertama, maka hampir dapat
dipastikan usia kehamilan. Sebaliknya pemeriksaan yang sesaat setelah trimester
III sukar untuk memastikan usia kehamilan. Diagnosis juga dapat dilakukan
dengan penilaian biometrik janin pada trimester I kehamilan dengan USG. Penyimpangan
pada tes biometrik ini hanya lebih atau kurang satu minggu.
Pemeriksaan sitologi
vagina (indeks kariopiknotik >20%) mempunyai sensitifitas 75% dan tes tanpa
tekanan dengan KTG mempunyai spesifisitas 100% dalam menentukan adanya
disfungsi janin plasenta atau postterm. Kematangan serviks tidak bisa dipakai
untuk menentukan usia kehamilan.
Tanda kehamilan
lewat waktu yang dijumpai pada bayi dibagi atas tiga stadium:
a.
Stadium I. Kulit menunjukkan kehilangan verniks kaseosa dan
maserasi berupa kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas.
b.
Stadium II. Gejala stadium I disertai pewarnaan mekonium
(kehijauan) pada kulit.
c.
Stadium III. Terdapat pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit,
dan tali pusat.
Yang paling penting
dalam menangani kehamilan lewat waktu ialah menentukan keadaan janin, karena
setiap keterlambatan akan menimbulkan resiko kegawatan. Penentuan keadaan janin
dapat dilakukan:
a.
Tes tanpa tekanan (non stress test). Bila memperoleh
hasil non reaktif maka dilanjutkan dengan tes tekanan oksitosin. Bila diperoleh
hasil reaktif maka nilai spesifisitas 98,8% menunjukkan kemungkinan besar janin
baik. Bila ditemukan hasil tes tekanan yang positif, meskipun sensitifitas
relatif rendah tetapi telah dibuktikan berhubungan dengan keadaan postmatur.
b.
Gerakan janin. Gerakan janin dapat ditentukan secara
subjektif (normal rata-rata 7 kali/ 20 menit) atau secara objektif dengan
tokografi (normal rata-rata 10 kali/ 20 menit), dapat juga ditentukan dengan
USG. Penilaian banyaknya air ketuban secara kualitatif dengan USG (normal >1
cm/ bidang) memberikan gambaran banyaknya air ketuban, bila ternyata
oligohidramnion maka kemungkinan telah terjadi kehamilan lewat waktu.
c.
Amnioskopi. Bila ditemukan air ketuban yang banyak dan jernih
mungkin keadaan janin masih baik. Sebaliknya air ketuban sedikit dan mengandung
mekonium akan mengalami resiko 33% asfiksia.
3.
Penatalaksanaan
Prinsip dari tata
laksana kehamilan lewat waktu ialah merencanakan pengakhiran kehamilan. Cara
pengakhiran kehamilan tergantung dari hasil pemeriksaan kesejahteraan janin dan
penilaian skor pelvik (pelvic score=PS). Ada beberapa cara untuk pengakhiran
kehamilan, antara lain:
a.
Induksi partus dengan pemasangan balon
kateter Foley.
b.
Induksi dengan oksitosin.
c.
Bedah seksio sesaria.
Dalam mengakhiri
kehamilan dengan induksi oksitosin, pasien harus memenuhi beberapa syarat,
antara lain kehamilan aterm, ada kemunduran his, ukuran panggul normal, tidak
ada disproporsi sefalopelvik, janin presentasi kepala, serviks sudah matang
(porsio teraba lunak, mulai mendatar, dan mulai membuka). Selain itu,
pengukuran pelvik juga harus dilakukan sebelumnya.
Induksi persalinan
dilakukan dengan oksitosin 5 IU dalam infus Dextrose 5%. Sebelum dilakukan
induksi, pasien dinilai terlebih dahulu kesejahteraan janinnya dengan alat KTG,
serta diukur skor pelvisnya. Jika keadaan janin baik dan skor pelvis >5,
maka induksi persalinan dapat dilakukan. Tetesan infus dimulai dengan 8
tetes/menit, lalu dinaikkan tiap 30 menit sebanyak 4 tetes/menit hingga timbul
his yang adekuat. Selama pemberian infus, kesejahteraan janin tetap
diperhatikan karena dikhawatirkan dapat timbul gawat janin. Setelah timbul his
adekuat, tetesan infus dipertahankan hingga persalinan. Namun, jika infus
pertama habis dan his adekuat belum muncul, dapat diberikan infus drip
oksitosin 5 IU ulangan. Jika his adekuat yang diharapkan tidak muncul, dapat
dipertimbangkan terminasi dengan seksio sesaria.
4.
Pencegahan
Pencegahan dapat
dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kehamilan yang teratur, minimal 4 kali
selama kehamilan, 1 kali pada trimester pertama (sebelum 12 minggu), 1 kali
pada trimester ke dua (antara 13 minggu sampai 28 minggu) dan 2 kali trimester
ketiga (di atas 28 minggu). Bila keadaan memungkinkan, pemeriksaan kehamilan
dilakukan 1 bulan sekali sampai usia 7 bulan, 2 minggu sekali pada kehamilan 7
– 8 bulan dan seminggu sekali pada bulan terakhir. Hal ini akan menjamin ibu
dan dokter mengetahui dengan benar usia kehamilan, dan mencegah terjadinya
kehamilan serotinus yang berbahaya.
Perhitungan dengan
satuan minggu seperti yang digunakan para dokter kandungan merupakan
perhitungan yang lebih tepat. Untuk itu perlu diketahui dengan tepat tanggal
hari pertama haid terakhir seorang (calon) ibu itu. Perhitungannya, jumlah hari
sejak hari pertama haid terakhir hingga saat itu dibagi 7 (jumlah hari dalam
seminggu). Misalnya, hari pertama haid terakhir Bu A jatuh pada 2 Januari 1999.
Saat ini tanggal 4 Maret 1999. Jumlah hari sejak hari pertama haid terakhir
adalah 61. Setelah angka itu dibagi 7 diperoleh angka 8,7. Jadi, usia
kehamilannya saat ini 9 minggu (www.google.com
Dr. Sutrisno di akses tanggal 19 Mei 2010 jam 21.30 wib.).
2.1.9
KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum
waktunya melahirkan. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh
sebelum waktunya melahirkan. KPD preterm adalah KPD sebelum usia kehamilan 37
minggu. KPD yang memanjang adalah KPD yang terjadi lebih dari 12 jam sebelum
waktunya melahirkan.
Kejadian KPD berkisar 5-10% dari semua kelahiran, dan KPD preterm terjadi
1% dari semua kehamilan. 70% kasus KPD terjadi pada kehamilan cukup bulan. KPD
merupakan penyebab kelahiran prematur sebanyak 30%.
Gambar 4.1. Ketuban Pecah
1.
Penyebab
Pada sebagian besar kasus, penyebabnya belum ditemukan. Faktor yang
disebutkan memiliki kaitan dengan KPD yaitu riwayat kelahiran prematur,
merokok, dan perdarahan selama kehamilan. Beberapa faktor risiko dari KPD :
a.
Inkompetensi serviks (leher rahim)
b.
Polihidramnion (cairan ketuban berlebih)
c.
Riwayat KPD sebelumya
d.
Kelainan atau kerusakan selaput ketuban
e.
Kehamilan kembar
f.
Trauma
g.
Serviks (leher rahim) yang pendek
(<25mm 23="" kehamilan="" minggu="" pada="" span="" usia="">25mm>
h.
Infeksi pada kehamilan seperti bakterial
vaginosis
2.
Tanda
dan Gejala
Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina.
Aroma air ketuban berbau manis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut
masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah. Cairan
ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran.
Tetapi bila Anda duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah
biasanya "mengganjal" atau "menyumbat" kebocoran untuk sementara.
Demam, bercak vagina
yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat merupakan
tanda-tanda infeksi yang terjadi.
3.
Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan secara langsung cairan yang merembes tersebut dapat dilakukan dengan
kertas nitrazine, kertas ini mengukur pH (asam-basa). pH normal dari vagina
adalah 4-4,7 sedangkan pH cairan ketuban adalah 7,1-7,3. Tes tersebut dapat
memiliki hasil positif yang salah apabila terdapat keterlibatan trikomonas,
darah, semen, lendir leher rahim, dan air seni. Pemeriksaan melalui
ultrasonografi (USG) dapat digunakan untuk mengkonfirmasi jumlah air ketuban
yang terdapat di dalam rahim.
4.
Komplikasi
KPD
Komplikasi paling sering terjadi pada KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu
adalah sindrom distress pernapasan, yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir.
Risiko infeksi meningkat pada kejadian KPD. Semua ibu hamil dengan KPD prematur
sebaiknya dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya korioamnionitis (radang pada
korion dan amnion). Selain itu kejadian prolaps atau keluarnya tali pusar dapat
terjadi pada KPD.
Risiko kecacatan dan kematian janin meningkat pada KPD preterm. Hipoplasia
paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada KPD preterm. Kejadiannya mencapai
hampir 100% apabila KPD preterm ini terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23
minggu.
5.
Penanganan
Ketuban Pecah di Rumah
a.
Apabila terdapat rembesan atau aliran cairan dari vagina,
segera hubungi dokter atau petugas kesehatan dan bersiaplah untuk ke Rumah
Sakit
b.
Gunakan pembalut wanita (jangan tampon) untuk penyerapan air
yang keluar
c.
Daerah vagina sebaiknya sebersih mungkin untuk mencegah
infeksi, jangan berhubungan seksual atau mandi berendam
d.
Selalu membersihkan dari arah depan ke belakang untuk
menghindari infeksi dari dubur
e.
Jangan coba melakukan pemeriksaan dalam sendiri
6.
Terapi
Apabila terjadi pecah ketuban, maka segeralah pergi ke rumah sakit. Dokter
kandungan akan mendiskusikan rencana terapi yang akan dilakukan, dan hal
tersebut tergantung dari berapa usia kehamilan dan tanda-tanda infeksi yang
terjadi. Risiko kelahiran bayi prematur adalah risiko terbesar kedua
setelah infeksi akibat ketuban pecah dini. Pemeriksaan mengenai kematangan dari
paru janin sebaiknya dilakukan terutama pada usia kehamilan 32-34 minggu. Hasil
akhir dari kemampuan janin untuk hidup sangat menentukan langkah yang akan
diambil.
Kontraksi akan terjadi dalam waktu 24 jam setelah ketuban pecah apabila
kehamilan sudah memasuki fase akhir. Semakin dini ketuban pecah terjadi maka
semakin lama jarak antara ketuban pecah dengan kontraksi. Jika tanggal persalinan
sebenarnya belum tiba, dokter biasanya akan menginduksi persalinan dengan
pemberian oksitosin (perangsang kontraksi) dalam 6 hingga 24 jam setelah
pecahnya ketuban. Tetapi jika memang sudah masuk tanggal persalinan dokter tak
akan menunggu selama itu untuk memberi induksi pada ibu, karena menunda induksi
bisa meningkatkan resiko infeksi.
Apabila paru bayi belum matang dan tidak terdapat infeksi setelah kejadian
KPD, maka istirahat dan penundaan kelahiran (bila belum waktunya melahirkan)
menggunakan magnesium sulfat dan obat tokolitik. Apabila paru janin sudah
matang atau terdapat infeksi setelah kejadian KPD, maka induksi untuk
melahirkan mungkin diperlukan.
Penggunaan steroid untuk pematangan paru janin masih merupakan kontroversi
dalam KPD. Penelitan terbaru menemukan keuntungan serta tidak adanya risiko
peningkatan terjadinya infeksi pada ibu dan janin. Steroid berguna untuk
mematangkan paru janin, mengurangi risiko sindrom distress pernapasan pada
janin, serta perdarahan pada otak.
Penggunaan antibiotik pada kasus KPD memiliki 2 alasan. Yang pertama adalah
penggunaan antibiotik untuk mencegah infeksi setelah kejadian KPD preterm. Dan
yang kedua adalah berdasarkan hipotesis bahwa KPD dapat disebabkan oleh infeksi
dan sebaliknya KPD preterm dapat menyebabkan infeksi. Keuntungan didapatkan
pada wanita hamil dengan KPD yang mendapatkan antibiotik yaitu, proses
kelahiran diperlambat hingga 7 hari, berkurangnya kejadian korioamnionitis
serta sepsis neonatal (infeksi pada bayi baru lahir).
7.
Pencegahan
Beberapa pencegahan dapat dilakukan namun belum ada yang terbukti cukup
efektif. Mengurangi aktivitas atau istirahat pada akhir triwulan kedua atau
awal triwulan ketiga dianjurkan (www.google.com Dr. Sutrisno di akses tanggal
10 Mei 2010 jam 21.30 wib).
2.1.10 Fase
Laten Memanjang
Menurut Sarwono
Prawirohardjo dalam buku pelayanan maternal dan neonatal fase laten memanjang
adalah suatu keadaan pada kala I dimana pembukaan serviks sampai 4 cm dan
berlangsung lebih dari 8 jam.
1.
Etiologi
Menurut Rustam Mochtar (Sinopsis Obstetri) pada dasarnya fase laten memanjang dapat
disebabkan oleh :
a.
His tidak efisien (adekuat)
b.
Tali pusat pendek
c.
Faktor jalan lahir (panggul sempit,
kelainan serviks, vagina, tumor)
d.
Kesalahan petugas kesehatan memastikan
bahwa pasien sudah masuk dalam persalinan (inpartu) atau belum
Faktor-faktor ini saling
berhubungan satu sama lain.
2.
Penilaian
Klinis
Menurut Sarwono
Prawirohardjo menentukan keadaan janin :
a.
Periksa DJJ selama atau segera setelah His. Hitung frekuensinya
sekurang-kurangnya 1 x dalam 30 menit selama fase aktif dan tiap 5 menit selama
fase laten kala II.
b.
Jika ketuban sudah pecah, air ketuban kehijau-hijauan atau
bercampur darah, pikiran kemungkinan gawat janin
c.
Jika tidak ada ketuban yang mengalir setelah selaput ketuban
pecah, pertimbangkan adanya indikasi penurunan jumlah air ketuban yang mungkin
juga menyebabkan gawat janin. Perbaiki keadaan umum dengan memberikan dukungan
psikologis. Berikan cairan baik secara oral atau parenteral dan upayakan BAK.
d.
Bila penderita merasakan nyeri yang sangat berat berikan
analgetik
3.
Diagnosis
Menurut Suprijadi
dalam buku asuhan intrapartum pada fase laten memanjang ini memungkinkan
terjadinya partus lama. Maka dari itu bidan harus bisa mengidentifikasi keadaan
ini dengan baik.
Diagnosa partus lama ialah :
Tanda dan Gejala Diagnosa
a.
Serviks tidak membuka
Tidak didapatkan his/his
tidak teratur Belum inpartu
b.
Pembukaan serviks tidak melewati 4 cm
sesudah 8 jam inpartu dengan his yang teratur Fase laten memanjang
c.
Pembukaan serviks melewati kanan garis
waspada partograf
1)
Frekuensi his kurang dari 3 x his per 10
menit dan lamanya kurang dari 40 detik
2)
Pembukaan serviks dan turunnya bagian
janin yang dipresentasi tidak maju, sedangkan his baik
3)
Pembukaan serviks dan turunnya bagian
janin yang dipresentasi tak maju dengan caput, terdapat moulase hebat, oedema
serviks, tanda ruptura uteri imins, gawat janin Fase aktif memanjang
d.
Pembukaan serviks lengkap, ibu ingin
mengedan, tetapi tidak ada kemajuan penurunan
Kala II lama
Kekeliruan melakukan
diagnosa persalinan palsu menjadi fase laten menyebabkan pemberian induksi yang
tidak perlu yang biasanya sering gagal. Hal ini menyebabkan tindakan operasi SC
yang kurang perlu dan sering menyebabkan amnionitis. Oleh sebab itu maka
petugas kesehatan atau bidan harus benar-benar tahu atau paham tentang
perbedaan persalinan sesungguhnya dan persalinan palsu yaitu dengan ciri-ciri
sebagai berikut :
a.
Persalinan sesungguhnya
1)
Serviks menipis dan membuka
2)
Rasa nyeri dengan internal teratur
3)
Internal antara rasa nyeri yang secara
perlahan semakin pendek
4)
Waktu dan kekuatan kontraksi bertambah
5)
Rasa nyeri berada dibagian perut bagian
bawah dan menjalar ke belakang
6)
Dengan berjalan menambah intensitas
7)
Ada hubungan antara tingkat kekuatan
kontraksi dengan intensitas rasa nyeri
8)
Lendir darah sering tampak
9)
Kepala janin terfiksasi di PAP diantara
kontraksi
10) Pemberian
obat penenang tidak menghentikan proses persalinan sesungguhnya
11) Ada
penurunan kepala bayi
b.
Persalinan Semu
1)
Tidak ada perubahan serviks
2)
Rasa nyeri tidak teratur
3)
Tidak ada perubahan internal antara
nyeri yang satu dan yang lain
4)
Tidak ada perubahan pada waktu dan
kekuatan kontraksi
5)
Kebanyakan rasa nyeri dibagian depan
saja
6)
Tidak ada perubahan rasa nyeri dengan
berjalan
7)
Tidak ada hubungan antara tingkat
kekuatan kontraksi uterus dengan intensitas rasa nyeri
8)
Tidak ada lendir darah
9)
Tidak ada kemajuan penurunan bagian
terendah janin
10) Kepala
belum masuk PAP walaupun ada kontraksi
11) Pemberian
obat yang efisien menghentikan rasa nyeri pada persalinan
4.
Penatalaksanaan
a.
Penanganan secara umum (menurut Sarwono
Prawirohardjo)
1)
Nilai secara cepat keadaan umum wanita
hamil tersebut termasuk tanda-tanda vital dan tingkat hidrasinya. Apakah ia
kesakitan dan gelisah, jika ya pertimbangkan pemberian analgetik.
2)
Tentukan apakah pasien benar-benar
inpartu
3)
Upaya mengedan ibu menambah resiko pada
bayi karena mengurangi jumlah O2 ke plasenta, maka dari itu sebaiknya
dianjurkan mengedan secara spontan dan mengedan dengan tidak menahan napas
terlalu lama
4)
Perhatikan DJJ
b.
Penanganan secara khusus
Apabila ibu berada dalam
fase laten lebih dari 8 jam dan tidak ada tanda-tanda kemajuan, lakukan
pemeriksaan dengan jalan penilaian ulang serviks :
1)
Bila tidak ada perubahan penipisan dan pembukaan serviks
serta tak didapatkan tanda gawat janin, kaji ulang diagnosisnya kemungkinan ibu
belum dalam keadaan inpartu
2)
Bila ada kemajuan dalam pendataran dan pembukaan serviks
lakukan amniotomi dan induksi persalinan dengan oksitosin atau prostoglandin.
Lakukan drip oksitosin dengan 5 unit dalam 500 cc dekstrose atau NaCl mulai
dengan 8 tetes per menit, setiap 30 menit ditambah 4 tetes sampai His adekuat
(maksimum 40 tetes/menit) atau diberikan preparat prostaglandin. Lakukan
penilaian ulang setiap 4 jam. Bila ibu tidak masuk fase aktif setelah dilakukan
pemberian oksitosin lakukan seksio sesarea.
3)
Pada daerah yang prevelensi HIV tinggi, dianjurkan membiarkan
ketuban tetap utuh, selama pemberian oksitosin untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya penularan HIV
4)
Bila didapatkan tanda-tanda infeksi (demam, cairan vagina
berbau) lakukan akselerasi persalinan dengan oksitosin 5 unit dalam 500 cc
dekstrose atau NaCl mulai dengan 8 tetes permenit setiap 15 menit ditambah 4
tetes sampai his adekuat (maksimum 40 tetes/menit atau diberikan preparat
prostaglandin, serta berikan antibiotika kombinasi sampai persalinan yaitu
amplisilin 29 gr IV. Sebagai dosis awal dan 1 gr IV setiap 6 jam ditambah
dengan gestamisin setiap 24 jam.
5)
Jika terjadi persalinan pervaginam stop antibiotika pasca
persalinan
6)
Jika dilakukan seksio sesarea, lanjutkan antibiotika ditambah
metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam sampai ibu bebas demam selama 48 jam (www.google.com Dr. Slamet diakses tanggal 19 Mei 2010 jam
21.10 wib.)
2.1.11 Diabetes
Mellitus
Diabetes Mellitus
Gestasional (DMG) didefinisikan sebagai gangguan toleransi glukosa berbagai
tingkat yang diketahui pertama kali saat hamil tanpa membedakan apakah
penderita perlu mendapat insulin atau tidak. Pada kehamilan trimester pertama
kadar glukosa akan turun antara 55-65% dan hal ini merupakan respon terhadap
transportasi glukosa dari ibu ke janin. Sebagian besar DMG asimtomatis sehingga
diagnosis ditentukan secara kebetulan pada saat pemeriksaan rutin.
Di Indonesia insiden
DMG sekitar 1,9-3,6% dan sekitar 40-60% wanita yang pernah mengalami DMG pada
pengamatan lanjut pasca persalinan akan mengidap diabetes mellitus atau gangguan
toleransi glukosa. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan
glukosa darah sewaktu dan 2 jam post prandial (pp). Bila hasilnya belum dapat
memastikan diagnosis DM, dapat diikuti dengan test toleransi glukosa oral. DM
ditegakkan apabila kadar glukosa darah sewaktu melebihi 200 mg%. Jika
didapatkan nilai di bawah 100 mg% berarti bukan DM dan bila nilainya diantara
100-200 mg% belum pasti DM.
Pada wanita hamil,
sampai saat ini pemeriksaan yang terbaik adalah dengan test tantangan glukosa
yaitu dengan pembebanan 50 gram glukosa dan kadar glukosa darah diukur 1 jam
kemudian. Jika kadar glukosa darah setelah 1 jam pembebanan melebihi 140 mg%
maka dilanjutkan dengan pemeriksaan test tolesansi glukosa oral (www.google.com Dr Sutrisno diakses tanggal
19 Mei 2010 jam 21.00 wib).
2.2 Penyakit
Ginjal Berat
Seorang wanita yang
sebelum hamil menderita penyakit ginjal berat tidak mungkin bisa mengandung
bayinya sampai cukup matang untuk dilahirkan.
Tetapi beberapa
wanita yang secara rutin menjalani dialisa akibat gagal ginjal dan banyak
wanita yang telah menjalani pencangkokan ginjal bisa melahirkan bayi yang
sehat.
Wanita hamil yang
menderita penyakit ginjal biasanya memerlukan perawatan dari ahli ginjal dan
ahli kandungan. Secara rutin dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal, tekanan darah
dan berat badan.
Asupan garam
dibatasi. Pemberian diuretik membantu mengendalikan tekanan darah dan edema.
Penderita seringkali
harus dirawat di rumah sakit setelah kehamilan mencapai 28 minggu. Persalinan
dini harus dilakukan untuk menyelamatkan bayi dan biasanya dilakukan melalui
operasi sesar.
2.2.1
Hidramnion
Hidramnion terjadi karena :
1.
Produksi air seni janin berlebihan.
2.
Ada kelainan pada janin yang menyebabkan
cairan ketuban menumpuk, yaitu hidrosefalus, atresia saluran cerna, kelainan
ginjal dan saluran kencing kongenital.
3.
Ada sumbatan/penyempitan saluran cerna
pada janin sehingga ia tak bisa menelan air ketuban. Alhasil, volume air
ketuban meningkat drastis.
4.
Kehamilan kembar, karena ada dua janin
yang menghasilkan air seni.
5.
Ada proses infeksi.
6.
Ada hambatan pertumbuhan atau kecacatan
yang menyangkut sistem saraf pusat sehingga fungsi gerakan menelan mengalami
kelumpuhan.
7.
Ibu hamil menderita diabetes yang tidak
terkontrol.
8.
Inkompatibilitas/ketidakcocokan Rhesus.
Cairan ketuban yang
berlebih berdampak buruk. Ibu biasanya merasa kandungannya cepat sekali
membesar. Pada kasus hidramnion ekstrem, pembesaran perut biasanya begitu
berlebihan sehingga dinding perut menjadi sedemikian tipis. Bahkan pembuluh
darah di bawah kulit pun terlihat jelas. Lapisan kulit pecah, sehingga tampak
guratan-guratan nyata pada permukaan perut. Kalau diukur, pertambahan lingkaran
perut terlihat begitu cepat. Begitu juga tinggi rahim.
Cairan ketuban yang
berlebih menyebabkan peregangan rahim, selain menekan diafragma ibu. Itu semua
akan memunculkan keluhan-keluhan serupa dengan kehamilan kembar, di antaranya
sesak napas/gangguan pernapasan yang berat, pertambahan berat badan berlebih
dan bengkak di sekujur tubuh. Keluhan-keluhan tersebut ujung-ujungnya akan
memicu terjadinya hipertensi dalam kehamilan yang mungkin harus diakhiri dengan
persalinan prematur.
Selain dampak di
atas, cairan ketuban menyebabkan letak janin umumnya menjadi tidak normal.
Dengan alat pemeriksa, suara denyut jantung janin terdengar jauh karena
letaknya jadi cukup jauh dari permukaan. USG bisa mendapat diagnosis yang lebih
pasti dengan cara mengukur ketinggian kantung air ketuban dan indeks cairan
amnion. Alat ini sekaligus dapat mengetahui apakah ada kelainan bawaan pada
janin dan gangguan pertumbuhan janin.
Plasen Peregangan
atau tekanan yang begitu kuat pada dinding rahim dapat memicu terjadinya
kontraksi sebelum waktunya. Namun, dokter tentu akan mengupayakan agar tidak
terjadi persalinan prematur dengan cara memberikan obat "peredam"
kontraksi.
Cairan ketuban yang
berlebih juga bisa meningkatkan risiko komplikasi persalinan, yaitu perdarahan
pascapersalinan. hidramnion juga amat memungkinkan terjadinya komplikasi
plasenta terlepas dari tempat perlekatannya. Belum lagi risiko terjadinya
kematian janin dalam kandungan.
Yang jelas,
kemungkinan ibu menjalani bedah sesar jauh lebih tinggi dibanding kehamilan
biasa mengingat letak janin yang tidak normal dan menurunnya tingkat
kesejahteraan janin. (www.google.com Ani
burnani, diakses tanggal 19 Mei 2010 jam 21.10 wib)
2.2.2
Anansephalus
Anensefalus terjadi
jika tabung saraf sebelah atas gagal menutup, tetapi penyebabnya yang pasti
tidak diketahui. Penelitian menunjukkan kemungkinan anensefalus berhubungan
dengan racun di lingkungan juga kadar asam folat yang rendah dalam darah.
2.2.3
Gawat Janin
Dr. Sutrisno dan Dr.
I. Edward Kurnia S.L Gawat janin selama persalinan menunjukkan hipoksia (kurang
oksigen) pada janin. Tanpa oksigen yang adekuat, denyut jantung janin
kehilangan variabilitas dasarnya dan menunjukkan deselerasi (perlambatan) lanjut
pada kontraksi uterus. Bila hipoksia menetap, glikolisis (pemecahan glukosa)
anaerob menghasilkan asam laktat dengan pH janin yang menurun.
1.
Data Subjektif dan Objektif
Gerakan janin yang
menurun atau berlebihan menandakan gawat janin. Tetapi biasanya tidak ada
gejala-gejala yang subyektif. Seringkali indikator gawat janin yang pertama
adalah perubahan dalam pola denyut jantung janin (bradikardia, takikardia,
tidak adanya variabilitas atau deselerasi lanjut). Hipotensi pada ibu, suhu
tubuh yang meningkat atau kontraksi uterus yang hipertonik atau ketiganya
secara keseluruhan dapat menyebabkan asfiksia (kegagalan nafas adequate pada
menit-menit pertama kelahiran) janin.(www.google.com –Dr Sutrisno,diakses
tanggal 19 Mei 2010 jam 21.00 )
2.2.4
Primi Gavida Tua
Wanita yang hamil untuk pertama kali dengan usia 30 tahun
disebut primigravida tua (elederly primigravida)
2.2.5
Ante Perum Bleeding
Perdarahan antepartum adalah perdahan yang terjadi setelah kehamilan 28
minggu biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada perdarahan kehamilan
sebelum 28 minggu.
2.2.6
Komplikasi Induksi Perslinan
Menurut
Rustam, komplikasi induksi persalinan adalah :
a.
Terhadap Ibu
1.
Kegagalan induksi.
2.
Kelelahan
ibu dan krisis emosional.
3.
Inersia uteri partus lama.
4.
Tetania uteri (tamultous lebar) yang
dapat menyebabkan solusio plasenta, ruptura uteri dan laserasi jalan lahir
lainnya.
5.
Infeksi intra uterin.
b.
Terhadap janin
1.
Trauma
pada janin oleh tindakan.
2.
Prolapsus tali pusat.
3.
Infeksi intrapartal pada janin (Winjosastro Hanifa,2003)
2.3 Konsep
Persalinan
2.3.1
Pengertian Persalinan
Persalinan adalah rangkaian proses yang berakhir dengan pengeluaran hasil
konsepsi oleh ibu. Proses ini dimulai dengan kontraksi persalinan sejati, yang
ditandai oleh perubahan pogesif pada seviks, dan diakhiri dengan kelahiran
plasenta (Varney, Helen. 2007 : 672).
Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks, dan janin turun kedalam jalan lahir. Kelahiran adalah proses dimana
janin dan ketuban di dorong keluar melalui jalan lahir (Sarwono Prawirohardjo,
2006 : 100).
2.3.2
Faktor Yang Mempengaruhi Persalinan
1. Power : kekuatan his yang
adekuat dan tambahan kekuatan mengejan
2. Passage: Jalan lahir tulang
,jalan lahir otot
3. Passanger: janin, plasenta, dan
selaput ketuban
4. Psikis ibu bersalin
5. Penolong persalinan (Ai Yeyeh,
Lia Yulianti, Hj. Maemunah, Hj. Lilik, 2009 13)
2.3.3
Sebab-Sebab Mulainya Persalinan
Sebab yang mendasari terjadinya partus secara teoritis masih merupakan
kumpulan teoritis yang kompleks teori yang turut memberikan andil dalam proses
terjadinya peralinan antara lain : teori hormonal, prostaglandin, strutur
uterus, sirkulasi uterus, pengaruh saraf dan nutrisi hal inilah yang diduga
memberikan pengaruh sehingga partus dimulai.
1. Penurunan kadar progesteron
Progesteron menimbulkan relaksasi otot-oto rahim,
sebaiknya estrogen meningkatkan kontraksi otot rahim. selama kehamilan,
terdapat keseimbangan antara kadar progesterone
dan estrogen di dalam darah tetapi pada akhir kehamilan kadar
progesterone menurun sehingga timbul his.
2. Teori oxytosin
Pada akhir kehamilan kadar oxytosin bertambah. Oleh
karena itu timbul kontraksi otot-otot rahim.
3. Peregangan Otot-otot
Dengan majunya kehamilan, maka makin tereganglah
Otot-otot rahim sehingga timbullah kontraksi untuk mengeluarkan janin.
4. Pengaruh Janin
Hipofise dan kadar suprarenal janin rupanya memegang
peranan penting oleh karena itu pada anencephalus kelahiran sering lebih lama.
5. Teori Prostaglandin
Kadar prostaglandin dalam kehamilan dari minggu ke
15 hingga aterm terutama saat persalinan
(Ai Yeyeh, Lia Yulianti, Hj. Maemunah, Hj. Lilik
2009 3)
2.3.4
Kala Dalam Persalinan
1.
Kala
I : Dimulai dari saat
persalinan mulai sampai pembukaan lengkap (10 cm). Proses ini terbagi dalam 2
fase, fase laten (8 jam) serviks membuka sampai 3 cm dan fase aktif (7 jam)
servik membuka dari 3 sampai 10 cm. Kontraksi lebih kuat dan sering selama fase aktif.
2.
Kala II : Dimulai dari pembukaan lengkap (10 cm) sampai bayi
lahir. Proses ini biasanya berlangsung 2 jam pada primi dan 1 jam pada multi.
3.
Kala III : Dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya
plasenta, yang berlangsung tidak lebih dari 30 menit
4.
Kala IV : Dimulai dari saat lahirnya plasenta sampai 2 jam
pertama post partum (Sarwono, 2005).
2.3.5
Tujuan Asuhan Persalinan
Adalah memberikan asuhan yang
memadai selama persalinan dalam upaya mencapai pertolongan persalinan yang
bersih dan aman, dengan memperhatikan aspek sayang ibu dan sayang bayi (Ai Yeyeh, 2009).
2.3.6
Tanda-Tanda Persalinan
Sebelum terjadinya pesalinan,
didahului dengan tanda-tanda sebagai berikut:
1. Kekuatan his makin sering
terjadi dan teratur dengan jarak kontraksi yang semakin pendek.
2. Dapat terjadi pengluaran lendir
atau pengeluaran lendir bercampur darah
3. Dapat juga disertai ketuban
pecah
4. Pada pemeriksaan dalam terdapat
peubahan serviks yaitu: pelunakan serviks, pendataran serviks dan terjadinya
pembukaan serviks (Ai Yeyeh, Lia Yulianti, Hj. Maemunah, Hj. Lilik, 2009 : 10).
2.3.7
Tanda-Tanda Bahaya Persalinan
Ada berapa Tanda-tanda bahaya
ibu bersalin yang akan mengancam jiwanya diantaranya:
1. Syok pada persalinan
2. Perdarahan pada saat persalinan
3. Nyeri kepala
4. Gangguan penglihatan
5. Kejang atau koma
6. Tekanan darah tinggi
7. Persalinan yang lama
8. Gawat janin dalam persalinan
9. Demam dalam persalinan
10. Nyeri perut hebat
11. Sukar bernafas (JNPK-KR,2007)
2.4 Kerangka
Konseptual
Kerangka konseptual adalah kerangka hubungan antara konsep yang
ingin di amati atau di ukur melalui penelitian yang akan dilaksanakan (Notoatmodjo:
2003).
Gambar 2.1 Kerangka
Konseptual Gambaran Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemberian Oksitosin Drip
Pada Persalinan
=
diteliti
=
tidak diteliti
Penjelasan
:
Faktor yang mempengaruhi oksitosin drip antara lain
hypertensi dalam kehamilan, post maturitas, KPD, fase laten memanjang, diabetes
melitus, penyakit ginjal berat, anansephalus, gawat janin, primi gravida tua,
ante partum bleeding.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Pada bab
ini akan diuraikan hasil penelitian di Paviliun PONEK RSUD Jombang. Hasil
penelitian disajikan dalam dua bagian yaitu data umum adalah persalinan dan
data khusus adalah angka kejadian faktor-faktor pemberian oksitosin drip pada
persalinan.
4.1.1
Data
Umum
Telah dilakukan
penelitian di RSUD Jombang tentang faktor-faktor pemberian oksitosin drip pada
persalinan pada bulan Januari sampai April 2010. Terdapat jumlah 138 orang,
seperti tampak pada tabel ini.
Tabel
4.1 Distribusi frekuensi Persalinan
Oksitosin Drip dan Tindakan Persalinan Lainnya
No
|
Data
RSUD Jombang
|
Jumlah
|
Prosentase
(%)
|
1
2
3.
|
Pesalinan Spontan Belakang kepala
Persalinan SC
Persalinan dengan VE (vacum ektraksi)
|
121
8
9
|
87,6
5,7
6,7
|
Total
|
138
|
100
|
Sumber : Data Sekunder Bulan
Januari-April 2010
Berdasarkan tabel di
atas tampak bahwa sebagian besar persalinan oksitosin drip dilakukan tindakan
persalinan spontan belakang kepala 121 orang (87,6%), persalinan SC 8 orang
(5,7%), dan persalinan VE (vacum ekstraksi) 9 orang (6,7%).
4.1.2
Data
Khusus
Tabel
4.2 Distribusi Frekuensi Faktor–Faktor
Yang Mempengaruhi Pemberian Oksitosin Drip Pada Persalinan di Ruang PONEK RSUD
Jombang bulan Januari-April 2010
No
|
Faktor Yang Mempengaruhi Pemberian OD
|
Frekuensi
|
Prosentase (%)
|
1.
2
3
4
|
Hypertensi dalam kehamilan
Post maturitas
KPD
Fase laten memanjang
|
21
32
38
47
|
15,4
23,1
27,5
34
|
Total
|
138
|
100
|
Sumber data Sekunder Bulan Januari-April 2010
Berdasarkan tabel diatas terlihat
bahwa faktor-faktor pemberian oksitosin drip pada persalinan di ruang PONEK
RSUD Jombang bulan Januari-April 2010 sebagian besar terdapat pada kasus Fase
laten memanjang yaitu 47 kasus (34%), KPD 38 kasus (27,5%), post maturitas 32
orang (23,1%) dan hypertensi kehamilan 21 orang (15,4%).
4.2 Pembahasan
4.2.1
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Pemberian Oksitosin Drip Pada Persalinan
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi terlihat faktor-faktor yang
mempengaruhi pemberian oksitosin drip pada persalinan di Ruang PONEK RSUD
Jombang pada bulan Januari-April 2010.
Terdapat 138 kasus persalinan dengan oksitosin drip di ruang PONEK RSUD Jombang. terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi pemberian oksitosin drip pada persalinan sebagian besar dengan
kasus Fase laten memanjang 47 kasus (34%), KPD 38 kasus (27,5%), post maturitas
32 kasus (23,1%), dan hypertensi dalam kehamilan 21 kasus (15,4%)
Menurut Dr.David T.Y.LIU, 2007, indikasi dilakukan oksitosin drip ada 3
yaitu untuk kesehatan ibu, janin, dan
kesehatan ibu janin. Seperti pada kondisi medis yang mengancam kesehatan ibu,
pada janin yang mengalami retardasi pertumbuhan atau kematian janin dan jika
menguntungkan baik ibu maupun janin.
Menurut Sastrawinata 2000 faktor yang mempengaruhi pemberian oksitosin
drip pada persalinan ada beberapa faktor yaitu: Hypertensi pada kehamilan, post
maturitas, KPD, Fase laten memanjang, DM, Hidramnion, Anansephalus, Gawat
janin, Primigravida tua, dan Ante partum bleeding.
Melihat fakta dan teori diatas jika terdapat kasus fase laten memanjang, KPD,
Post maturitas, dan hypertensi dalam kehamilan, sebagai bidan jika ditemukan
kasus seperti diatas segera rujuk untuk dilakukan tindakan persalinan dengan
oksitosin drip untuk keselamatan ibu dan janin.
Dari penelitian diatas maka dapat disimpulkan bahwa teori yang ada sudah
di dukung hasil penelitian diketahui sebagian besar dengan rekam medic faktor
yang mempengaruhi pemberian oksitosin sebagian besar dengan kasus Fase laten
memanjang, KPD, Post maturitas, dan hypertensi dalam kehamilan.
4.2.1.1
Fase laten
memanjang
Menurut Sarwono
Prawihardjo dalam buku pelayanan maternal dan neonatal fase laten memanjang
yaitu adalah suatu keadaan pada kala 1 dimana pembukaan serviks sampai 4 cm dan
berlangsung lebih dari 8 jam dengan tanda dan gejala serviks tidak membuka, pembukaan serviks tidak melewati 4 cm sesudah 8 jam inpartu dengan his
yang teratur, pembukaan serviks melewati kanan garis waspada pada
partograf, pembukaan serviks lengkap, ibu ingin meneran tetapi tidak ada penurunan kala 2 lama.
Menurut Sarwono
Prawihardjo Penanganan secara khusus pada kasus fase laten memanjang dengan cara
induksi persalinan dengan oksitosin drip atau prostaglandin untuk menghindari
kematian janin sebelum kematian mendadak yang tdak dapat dijelaskan setelah
marturitas janin. (www.google.com Dr.Sutrisno, di akses tanggal 19 mei 2010 jam
21.00).
Pada penelitian ini tingkat kejadian fase
laten memanjang di Ruang PONEK RSUD Jombang sebanyak 47 kasus (34%) dari 138 kasus pemberian oksitosin drip pada
persalinan.
Jika pembukaan serviks
tidak melewati 4 cm sesudah 8 jam inpartu maka untuk menghindari kematian janin
dengan cara melakukan induksi persalinan
dengan oksitosin drip atau prostaglandin. Jika setelah dilakukan oksitosin drip pembukaan
tidak ada kemajuan segera lakukan tindakan selanjutnya seperti dilakukan SC (sectio
secaria) untuk mencegah terjadinya komplikasi untuk ibu dan janin.
Dari penelitian ini atara teori dengan fakta yang terjadi saling berkesinambungan atau berhubungan antara kasus fase
laten memanjang dengan pemberian oksitosin drip pada persalinan.
4.2.1.2
KPD
Ketuban pecah dini (KPD)
Di definisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya
melahirkan. KPD Preterm adalah KPD sebelum usia kehamilan 37
minggu. KPD yang memanjang adalah KPD yang terjadi lebih dari 12 jam sebelum
waktunya penelitian. Kejadian KPD berkisar 5-10% dari semua kelahiran, KPD preterm terjadi 1 % dari semua kehamilan 70 % kasus KPD terjadi pada kehamilan cukup bulan. KPD merupakan penyebab kelahiran
premature sebanyak 30 %.
Semakin dini ketuban pecah
terjadi maka semakin lama jarak antara ketuban pecah dengan kontraksi dan jika
tanggal persalinan belum tiba sedangkan ketuban sudah pecah dokter biasanya
akan menginduksi persalinan dengan pemberian oksitosin (perangsang kontraksi)
dalam 6 hingga 24 jam setelah pecahnya ketuban untuk mencegah infeksi pada ibu
dan asfiksia berat pada janin (www.google.com,Dr. Sutrisno di akses tanggal 19 mei 2010 jam
21.15 wib).
Pada penelitian ini di
dapatkan kasus KPD sebanyak 38 kasus (27,5 %) dari seluruh kasus pemberian
okitosin drip pada persalinan di ruang PONEK RSUD Jombang.
Untuk mencegah komplikasi
pada ibu dan janin jika ditemukan kasus ketuban pecah dini segera lakukan
tindakan persalinan anjuran seperti persalinan dengan oksitosin drip, VE (vacum ekstraksi), dan sectio secaria.
Maka dapat disimpulkan
bahwa teori yang sudah didukung dari hasil penelitian dengan menggunakan rekam
medic. KPD termasuk dalam faktor yang mempengaruhi
pemberian oksitosin drip pada persallinan.
4.2.1.3
Post maturitas
Kehamilan lewat bulan
(serotinus) ialah kehamilan yang berlangsung lebih dari tafsiran persalinan
yang di hitung dari HPHT, dimana usia kehamilannya telah melebihi 42 minggu (>294 hari).
Penyebab pasti kehamilan
lewat waktu sampai saat ini belum kita ketahui. Di duga penyebabnya adalah
siklus haid yang tidak diketahui pasti, kelainan pada janin (anensefal, kelenjar
adrenalin janin yang fungsinya kurang baik, kelainan pertumbuhan tulang janin
atau kekurangan enzim zulfatase plasenta).
Menurut Rustam 1998
prinsip dari tata laksana kehamilan lewat waktu ialah mengakhiri kehamilan
salah satunya dengan cara induksi dengan oksitosin drip untuk menghindari
kematian janin di dalam rahim.
Pada penelitian ini di dapatkan
kasus post marturitas sebanyak 32 kasus (23,1 %) dari seluruh kasus yang
mempengaruhi pemberian oksitosin drip pada persalinan.
Melihat fakta dari hasil
penelitian yang telah dilakukan sebagai bidan jika ditemukan kasus post
maturitas segera rujuk ke instalasi yang memadai untuk dilakukan tindakan
persalinan anjuran seperti persalinan dengan oksitosin drip, VE (vacum ekstraksi), dan SC (section secaria). Untuk mencegan terjadinya komplikasi pada ibu dan
janin.
Maka dapat disimpulkan bahwa teori yang sudah ada di dukung hasil
penelitian diketahui dari hasil rekam medic. Post maturitas termasuk dalam
faktor-faktor yang mempengaruhi oksitosi drip pada persalinan.
4.2.1.4
Hypertensi
dalam kehamilan
Hypertensi dalam
kehamilan berarti tekanan darah meningkat saat hamil, keadaan ini biasanya mulai pada trimester ke tiga atau tiga bulan
terakhir kehamilan. Kadang-kadang
timbul lebih awal, tetapi hal ini jarang terjadi. Keadaan ini paling sering terjadi pada hamil anak pertama dan lebih
jarang pada kehamilan selanjutnya.
Salah satunya hal yang
dapat mengatasi hypertensi dalam kehamilan adalah melahirkan salah satunya
dengan cara induksi menggunakan oksitosin drip untuk menghindarinya Preeklampsia, eklampsia pada
ibu dan, untuk menghindari asupan oksigen yang mengalir ke plasenta
menjadi berkurang yang menyebakan asfiksia dan hipoksia pada janin.
Pada penelitian ini di dapatkan kasus Hypertensi dalam kehamilan di
dapatkan 21 kasus (15,4%) dari seluruh faktor-faktor yang mempengaruhi
pemberian oksitosin drip pada persalinan.
Melihat teori dan fakta
diatas sebaiknya jika di temukan kasus
hypertensi dalam kehamilan untuk menghindari
komplikasi pada ibu dan janin sebaiknya dilakukan persalinan dengan
oksitosin drip agar persalinan bisa berjalan dengan lancar.
Maka dapat di simpulkan bahwa teori yang sudah ada
didukung hasil penelitian diketahui dari rekam Medic. Hypertensi dalam kehamilan termasuk faktor-faktor
yang mempengaruhi pemberian oksitosin drip pada persalinan.